HeadlineNasional

Presiden Prabowo Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, Aktivis Buruh asal Jawa Timur

12
×

Presiden Prabowo Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, Aktivis Buruh asal Jawa Timur

Sebarkan artikel ini
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan anugerah gelar Pahwalan Nasional kepada Marsinah (aktivis buruh) yang diterima oleh ahli waris almarhumah tepat dihari peringatan pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025),

JAKARTA- Tepat dihari peringatan Pahlawan Nasional, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sejumlah tokoh. Salah satu yang dianugerahi pahlawan nasional yaitu Marsinah sosok yang dikenal sebagai aktivis buruh yang lantang menyuarakan hak-hak kaum buruh, Senin (10/11/2025).

Penganugerahan itu dilakukan dalam upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional 2025 di Istana Negara di Jakarta yang dibacakan oleh Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana.

“Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada almarhumah Marsinah, tokoh dari Provinsi Jawa Timur,” ujar Brigjen TNI Wahyu Yudhayana. Gelar pahwalan nasional itu diberikan langsung oleh Presiden Prabowo kepada ahli waris dari Marsinah yang diusu;kan dari Jawa Timur.

Marsinah merupakan buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, ia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo yang lantang menyuarakan hak-hak para buruh.

Dikutip dari berbagai sumber, Marsinah pertama kali bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Namun, gaji Marsinah saat itu jauh dari cukup sehingga untuk memperoleh tambahan penghasilan, ia juga berjualan nasi bungkus di sekitar pabrij dengan harga Rp150 per bungkus.

Tak lama kemudian, Marsinah pindah dan bekerja di pabrik pembuatan arloji PT Catur Putra Surya sebagai buruh. Upah buruh saat itu sangat minim, kemudian ia memimpin aksi sejumlah buruh pada awal Mei 1993 untuk menuntut pemenuhan hak mereka (para buruh) dan melakukan aksi mogok kerja.

Setelah aksi itu, 11 dari 12 tuntutan para buruh dikabulkan, kecuali pembubaran Unit Kerja SPSI dan PT CPS. Terkabulnya hasil perundingan tersebut tertuang dalam Surat Persetujuan Bersama.

Namun pada 5 Mei 1993, 13 ornag buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo dan memaksa mereka untuk mengundurkan diri dari PT CPS, alasannya, perusahaan tersebut sudah tidak  membutuhkan mereka lagi. Penolakan pun terjadi dari pihak buruh dan mendapatkan intimidasi dan tindakan represif.

Mendengar pemanggilan sejumlah rekannya sesama buruh oleh Kodim 0816, Marsinah kemudian menulis sepucuk surat untuk rekan-rekan buruhnya. Isinya tentnag petunjuk menjawab interogasi.

Dihadapan rekan-rekannya, perempuan kelahiran 10 April 1969 itu juga berikrar, “Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh Kodim, saya akan membawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya”.

Dihari yang sama (05/05/1994), Marsinah bersama seorang rekannya melayangkan surat protes kepada PT CPS yang kemudian surat itu diterima oleh pihak keamanan pabrik.

Setelah melayangkan surat protes itu, tepat dimalam harinya, Marsinah dan rekannya pulang, dan kemudian menyempatkan untuk berkunjung ke kediaman temannya yang lain.

Usai pertemuan di malam itu, tepak Pukul 22.00 WIB, Marsinah pergi entah kemana, dan menjadi malam terakhir kali bagi rekan-rekannya melihat sosok perempuan itu (Marsinah).

Setelah tiga hari menghilang tepatnya pada 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan jasad perempuan. Jasad itu adalah Marsinah, tubuhnya terbujur kaku disebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Jasad Marsinah dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh. Tewasnya Marsinah mendapatkan perhatian publik dan Presiden Soeharto yang saat itu memipin RI.

Satu bulan pertama pengusutan kasusnya, kepolisian sudah memeriksa sebanyak 142 orang. Namun puncaknya terjadi pada 1 November 1993 dini hari, saat satuan intelijen mnculik depalan orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.

Kedelapan orang tersebut merupakan orang-orang dari PT CPS, di mana salah satu yang diculik adalah pemilik pabrik, Judi Susanto.

Judi Susanto dan tujuh orang lainnya diketahui mengalami siksaan berat untuk dipaksa mengakui bahwa mereka-lah dalang pembunuhan Marsinah.

Selama proses penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur, disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya.

Marsinah kemudian disebut dibawa ke rumah Judi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS. Akhirnya, Judi Susanto dijatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staf PT CPS dijatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara.

Namun saat itu, Judi Susanto bersikeras menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Ia mengaku hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Judi Susanto kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan dinyatakan bebas.

Hal serupa juga dilakukan para staf PT CPS yang dijatuhi hukuman. Mereka naik banding hingga dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung. Setelah itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *