BANYUASIN – Dampak pemanasan global telah dirasakan Indonesia. Dua pulau di Sumatera Selatan (Sumsel) lenyap. Bahkan empat pulau lainnya terancam menyusul. Hal tersebut diungkap Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Dua pulau yang lenyap adalah Pulau Betet dan Pulau Gundul.
Kedua pulau tersebut berada di Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Lenyapnya Pulau Betet dan Pulau Gundul diakibatkan oleh naiknya permukaan laut.
“Pulau-pulau ini tidak berpenghuni. Salah satu pulau, Betet, adalah bagian dari Taman Nasional Berbak-Sembilang,” kata Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Selatan, seperti dilansir ritmee.co.id dari Detikcom ysng dikutip dari laman The Star .
Hairul mengingatkan jika tidak ada upaya signifikan untuk mengatasi lautan yang terus meningkat, empat pulau lain yang punya ketinggian kurang dari empat meter di atas permukaan laut akan bernasib sama.
Keempat pulau tersebut meliputi Pulau Burung yang saat ini ketinggiannya hampir sama dengan permukaan laut. Lalu Pulau Kalong dan Pulau Salah Namo, keduanya memiliki ketinggian 2 meter di atas permukaan laut. Terakhir Pulau Kramat yang berada tiga meter di atas permukaan laut.
Menurut Walhi, saat ini ada 23 pulau kecil yang terletak di lepas pantai timur Banyuasin. Beberapa pulau tidak berpenghuni, sementara beberapa ─ termasuk Pulau Salah Namo ─ berpenghuni.
Peningkatan permukaan laut yang didorong oleh perubahan iklim. Kondisi ini mengancam negara-negara kepulauan seperti Indonesia, di mana jutaan orang saat ini tinggal di daerah dataran rendah yang tersebar di sekitar 17.000 pulau.
“Negara tropis seperti Indonesia lebih rentan terhadap efek pemanasan global, terutama di Sumatera Selatan di mana orang banyak bergantung pada batu bara, minyak, dan gas alam, sehingga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca,” papar Hairul
“Faktor-faktor lain yang menyebabkan tenggelam termasuk ketergantungan pada pupuk kimia di sektor pertanian, yang menyebabkan penurunan tanah dan kerusakan cekungan drainase, serta ekstraksi air tanah yang berlebihan untuk industri,” imbuhnya.
Syahrul, Kepala Unit Lingkungan di Pulau Salah Namo, mengatakan bahwa mereka sudah tahu bahwa laut yang naik bisa menenggelamkan pulau mereka. Orang-orang yang tinggal di pulau itu telah memindahkan rumah mereka puluhan meter dari tempat pertama kali dibangun.
Diungkap Syahrul sebagian besar penduduk pindah ke pulau itu pada tahun 1970 untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan menanam padi dan menjadi nelayan. Pada tahun 1990, di depan rumah terdapat lapangan yang cukup besar yang dijadikan tempat olahraga dan bermain anak-anak. Tetapi kondisi sekarang berbeda.
“Tidak ada lapangan di depan rumah kita. Banyak orang juga pindah dari sini,”katanya.
Sementara itu saat dikonfirmasi Kepala Taman Nasional Berbak-Sembilang Area II, Affan Absori, membenarkan Pulau Betet telah tenggelam. Pulau itu telah mengalami tenggelam selama beberapa waktu.
Taman Nasional Berbak-Sembilang dinyatakan sebagai cagar biosfer dunia pada tahun 2018 oleh Unesco. Menjadi rumah bagi kawasan hutan bakau dan memiliki flora dan fauna yang kaya, termasuk Harimau Sumatra dan burung Pekakak.
“Itu telah tenggelam karena level segel telah naik dan karena tsunami. Tetapi tidak ada gangguan signifikan bagi hewan-hewan di taman nasional,” ungkap Affan.
Meskipun Sumatera Selatan memiliki 1,2 juta hektar lahan gambut ─ yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan menyerap CO2 dari atmosfer ─ berjumlah sekitar 15 persen dari luas lahan, kegiatan pembangunan, konversi lahan dan kebakaran hutan telah menyebabkan lahan gambut mengering dan menjadi rusak.
Badan Mitigasi Bencana Sumatera Selatan (BPBD) mencatat bahwa dari 361.889 ha area yang terbakar oleh kebakaran hutan dan lahan pada 2019, 60 persen terdiri dari ekosistem gambut. (*)