Oleh: Andi Fitria Kambau
Dari: Berbagai Sumber
RITMEE.CO.ID—Tanggal 21 April Hari Kartini, salah satu pahlawan wanita yang sangat berpengaruh di Indonesia, khususnya perjuangannya dalam pendidikan dan keadilan bagi kaum wanita.
Kartini atau Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah 143 tahun silam. Kartini yang fasih berbahasa Belanda bisa mendapatkan informasi dari buku, media cetak bahkan memiliki sahabat pena dari negeri Pamansam itu.
Pada surat-surat yang ia tulis, Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama budaya Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki hak yang sama denga pria, memiliki kebebasan untuk menuntut ilmu dan belajar.
Karena kegigihan, kecerdasan, korespondensi serta semangat belajar yang tak terbatas, menyadarkan Kartini sadar akan ketimpangan sosial dan sistem petriarki yang terjadi dan menekan kaum perempuan dimana pada jaman itu, kaum perempuam tidak memiliki kesetaraan khususnya pendidikan.
Kartini yang lahir dan besar dari kelurga keterunan ningrat tidak serta merta memuluskan jalannya berjuang untuk kaumnya. Ia bahkan pernah ditentang oleh ayahnya untuk tidak melanjutkan pendidikannya setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Europese Lagere School (ELS) milik Belanda.
Jika di Jepara ada R.A Kartini, maka di Sulawesi Selatan ada Siti Aisyah We Tenri Olle, seorang Datu atau Raja dari Tanette Sulsel yang memimpin kerajaan itu dari tahun 1855 hingga tahun 1910.
Pengangkatan Aisyah menjadi seorang Datu memimpin kerajaan Tanette tidaklah mudah, pengangkatannya menjadi Datu menggantikan kakeknya yang sudah tua dan ingin turun tahta ditantang oleh Colliq Poedjie, karena masih ada anak laki-laki, Colliq Poedjie yang lain yaitu La Makkawaru. Tetapi La Rumpang tidak menyukai La Makkawaru sebab dianggap tidak layak menjabat sebagai Raja. La Makkawaru memiliki kebiasaan buruk berjudi dan sabung ayam. Sebagai Raja,La Rumpang memiliki otoritas tertinggi. Akhirnya diputuskan Siti Aisyah We Tenriolle sebagai penggantinya.
Usulan itu kemudian disetujuai oleh Gubernur Sulawesi dan Daerah Taklukan pada 1852. Semasa menjadi datu di kerajaan Tanette, Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyatnya. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan.
Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis dan berhitung tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah lah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah khususnya di Sulawesi Selatan, yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan.
Kecerdasan Aisyah terlihat sejak kecil. Dia sangat menyukai buku-buku sastra. Bersama ibundanya Colliq Poedjie, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama I La Galigo. Colliq Poedjie adalah seorang intelek yang mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan. Colliq sering diminta oleh Raja yang merupakan ayahnya sendiri untuk menulis surat-surat kerajaan.
Kecerdasan dan kecakapan Aisyah semakin terlihat sejak ia menjadi Ratu. Tidak hanya cerdas di bidang kesusateraan tapi juga bidang pemerintahan dan tentunya dibidang pendidikan.
Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau-Pauna Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima yaitu : “Orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri; Orang yang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk membangun negerinya; Orang pemberani adalah orang yang dapat melindungi rakyatnya; Wali adalah orang yang dimuliakan Allah; dan Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Allah.”
Disamping menerapkan hikayat Syekh Maradang, Aisyah juga menerapkan konsep pemerintahan sentralisasi. Menjadi seorang Datu tidak menjadikan Aisyah lupa akan kecintaannya dengan dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua I La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan yaitu Goa,Tallo,Bone.
Aisyah dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama dua puluh tahun. Bersama seorang peneliti dari Belanda sebagai perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab) pada tahun 1853 ia kembali menggalidan menerjemahkan epos I La Galigo itu dan menyelamatkan epos terpanjang di dunia dan diakui sebagai salah satu sastra warisan dunia itu. Epos yang ditulis sekitar abad 13-15.
Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, sedangkan Mathess ke bahasa Belanda. Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Siti Aisyah we Tenri Ollen sendiri bukanlah selebriti di nusantara, bahkan kita tidak pernah mendengar namanya di buku-buku sejarah sebagai seorang perempuan yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid laki-laki dan perempuan menutut ilmu secara bersama di dalam ruangan yang sama pula.
Nama Aisyah tenggelam tak berjejak, hanya orang-orang Bugis saja yang mengenalnya. Sungguh sejarah yang tidak adil. Dialah Ratu yang menjabat paling lama di nusantara, lima puluh lima tahun. Dialah yang mendirikan sekolah Rakyat untuk putra-putri dalam satu kelas. Aisyah Sang penggagas konsep persamaan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini lahir. Dia juga lah penyelamat sastra warisan dunia I La Galigo. Semoga suatu saat nanti pemerintah akan mengabadikan namanya sabagai salah satu pahlawan wanita Indonesia.
Bahkan terjemahan I La Galigo masih tersimpan rapi di universitas Leiden Belanda dan diakui sebagai salah satu sastra warisan dunia. Epos I La Galigo merupakan sebuah karya bangsa Indonesia tetapi tersimpan di negeri orang. Bahkan pementasan internasional epos I La Galigo secara teatrikal dan musikal di tahun 2004 juga digarap oleh seniman Amerika. Pementasan tersebut berlangsung di Eropa, Amerika, Australia, kemudian mampir ke Makassar tanah tumpah darah asli I La Galigo.
Epos I La Galigo sendiri bercerita tentang kisah cinta Sawerigading sang tokoh utama beserta adat-istiadat masyarakat Bugis di kala itu dengan menggunakan bahasa bugis kuno dan huruf lontaraq, huruf Bugis kuno yang sangat berbeda dengan alphabet latin. Kisah Sawerigading pun ditulis di atas daun lontar. Ada sekitar 300.000 larik sajak yang tertoreh pada Kitab tersebut, , mencakup lebih dari 6.000 halaman folio. Setiap halaman naskah tersebut terdiri dari 10-15 suku kata.