YOGYAKARTA – Raja dan Ratu Belanda melakukan kunjungan kerja di Indonesia. Dalam kunjungan kerja tersebut, penjajah yang menguasai Nusantara selama 3,5 Abad itu mengembalikan keris milik pahlawan Nasional, Pangeran Dipenogoro. Namun, keaslian keris itu diragukan sebagian Budayawan.
Budayawan Profesor Sardono W Kusumo turut andil pendapat perihal polemik keaslian keris milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan oleh Kerajaan Belanda. Sardono mengatakan jika keris Diponegoro yang berada di Belanda didasarkan dari kesaksian Panglima Sentot Prawirodirjo maka kesaksian itu layak diragukan.
Dilansir ritmee.co.id dari Detikcom, sejarawan Sri Margana selaku verifikator penelitian keris Diponegoro di Belanda mengatakan bahwa timnya memastikan keris tersebut sebagai keris Diponegoro berdasarkan manuskrip tulisan Sentot Prawirodirjo yang mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menyerahkan keris tersebut kepada seorang perwira Belanda, Letkol Cleerens.
Sardono yang juga koreografer itu pernah membuat riset cukup mendalam perihal kehidupan Pangeran Diponegoro, terutama dari kajian sejarah dan sosio politik selama Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro tahun 1825-1930. Riset itu dilakukan guna pendalaman materi pertunjukan tari yang digarapnya berjudul ‘Opera Diponegoro’ yang kemudian menjadi salah satu karya besar Sardono dan telah dipentaskan di berbagai kota.
“Apa benar manuskrip itu tulisan asli dari Panglima Sentot? Bukankah ketika penangkapan Diponegoro, Sentot telah lebih dulu ditangkap dan diasingkan ke Sumatera? Kok ada tulisan yang menyebutkan bahwa Sentot mengaku melihat sendiri penyerahan keris oleh Diponegoro ke pihak Belanda, padahal saat itu Sentot tidak ada di lokasi perundingan di Magelang yang berakhir penangkapan itu,” kata Sardono, Kamis (12/3/2020).
Mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut juga meragukan suasana yang digambarkan dalam manuskrip tersebut. Salah satunya menyebutkan Diponegoro bersedia memberikan keris Letnan Kolonel Jan-Baptist Cleerens, komandan lapangan yang menjalin ‘gentlement agreement’ di Magelang sebagai tanda kepercayaan.
“Diponegoro itu sosok yang tak mudah begitu saja bertemu dengan banyak orang, apalagi pihak musuh, dengan suasana penuh persahabatan seperti itu. Bahkan perundingan yang berakhir penangkapan itu sudah menunjukkan bahwa Diponegoro adalah pemimpin yang sangat keras dan tidak gampang menerima pengaruh dari luar, apalagi berbaik-baik dengan musuhnya,” lanjutnya.
Sebelumnya sejarawan Sri Margana mengatakan tim verifikator mendasarkan kesimpulannnya pada tulisan karya Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (Panglima Perang Diponegoro) ditemukan tahun 2017. Tulisan itu ditulis bulan Mei 1830, tak lama setelah Diponegoro ditangkap.
Dalam tulisan berbahasa Jawa dan beraksara Jawa itu, Sentot menuliskan, ‘Saya menyaksikan sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Naga Siluman kepada Letnan Kolonel Cleerens.’ Jan-Baptist Cleerens adalah komandan lapangan yang menjalin ‘gentlement agreement’ dan dipercaya oleh Diponegoro, maka Diponegoro menghadiahkan keris itu ke Cleerens sebagai tanda kepercayaan, meski akhirnya Diponegoro dikhianati Belanda dan ditangkap Jenderal De Kock di Magelang.
Di tulisan Sentot itulah ada penyebutan nama keris ‘Naga Siluman’. Tulisan Sentot yang berbahasa dan aksara Jawa itu kemudian diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Raden Saleh, pelukis kenamaan. Raden Saleh melihat langsung keris itu dan mendeskripsikan ciri fisik keris itu, tepat di samping tulisan Sentot.
“Raden Saleh memberi catatan dalam Bahasa Belanda, dituliskannya bahwa keris Naga Siluman itu punya luk berjumlah 11,” kata anggota Tim Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro, Sri Margana.
Keris itu datang ke Belanda sejak 1831 dan akhirnya disimpan di Museum Volkenkunde, Leiden. Nomor inventarisnya RV-360-8084. Nomor itu ada di bagian gagang dan bagian warangka (sarung keris). Di situ memang tidak disertai keterangan bahwa keris ini bernama Kiai Naga Siluman, namun hanya dituliskan bahwa pemilik sebelumnya adalah Pangeran Diponegoro.
Dalam catatan sejarah Perang Jawa, Sentot Prawirodirjo memang punya peran besar. Putra dari Ronggo Prawirodirjo ini adalah panglima perang Diponegoro dan pernah memimpin sebuah peperangan besar yang membuat kerugian besar-besaran di pihak Belanda.
Keperkasaan Sentot dalam perang tersebut pernah sukses diangkat dalam film ‘November 1928’ oleh sineas (alm) Teguh Karya. Sardono ikut terlibat dalam film tersebut sebagai salah satu pemain bersama Slamet Rahardjo, Sunarti Suwandi dan lain-lain.
Sentot berhasil dijebak dan ditangkap oleh Belanda tahun 1829. Selanjutnya dia diasingkan ke Sumatra Barat. Namun di pembuangan dia justru bergabung membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Selanjutnya dia dipindahkan ke Bengkulu dan wafat di kota tersebut pada tahun 1955. (*)