Hasil Analisis Data Pengukuran Stunting Tingkat Kota Palopo

Kasi Kesling dan Kesjaor Dinkes Palopo, Ceria Amalia.

Palopo – Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia terutama masalah pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil.

Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil ini dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting. Stunting dapat terjadi sebagai akibat kekurangan gizi terutama pada saat 1000 HPK. Pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan pada ibu hamil perlu mendapat perhatian untuk mencegah terjadinya stunting.

Bacaan Lainnya

Stunting akan berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada saat dewasa. Akibat kekurangan gizi pada 1000 HPK bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki.

Berdasarkan data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2018) Prevalensi Stunting di Indonesia sebesar 30,8%. Dan Sulawesi Selatan sebesar 35,7% dan Kota Palopo sebesar 36,0 % (Riskesdas 2018), ini terjadi penurunan prevalensi untuk Kota Palopo dimana pada Riskesda,2013 stunting di kota Palopo sebesar 42,12 %.

Penanggulangan stunting menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya pemerintah tetapi juga setiap keluarga. Karena stunting dalam jangka panjang berdampak buruk tidak hanya terhadap tumbuh kembang anak tetapi juga terhadap perkembangan emosi yang berakibat pada kerugian ekonomi.

Untuk itu pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting yang telah diluncurkan sejak tahun 2018. Perpres ini semakin memperkuat kerangka intervensi dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting sebagai salah satu program prioritas nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menetapkan bahwa target penurunan stunting pada anak bawah usia 2 tahun adalah 14% pada tahun 2024.

Dalam rangka mengawal pelaksanaan program percepatan penurunan stunting, pemerintah melakukan intervensi melalui pendekatan multisector yang mengarah pada peningkatan kualitas intervensi spesifik dan sensitive terutama melalui pemenuhan seluruh indicator sebagaimana tertuang dalam lampiran Perpres 72/2021 tersebut.

Peran Multisektor tersebut dikoordinasikan melalui kelembagaan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan dan desa/kelurahan.

Delapan Aksi Konvergensi percepatan penurunan Stunting di daerah yang dibinadan dikendalikan oleh Kementrian Dalam Negeri Bersama dengan Kementrian/Lembaga terkait tentunya memiliki peran strategis sebagai kerja afirmasi penurunan stunting oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Untuk Kota Palopo sampai saat ini telah melaksanakan 7 Aksi Konvergensi.

Perkembangan Sebaran Prevalensi Stunting

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak balita akibat kekurangan gizi kronik dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang badan atau tinggi badan berada di bawah standar WHO (PP No.72 Tahun 2021). Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Permasalahan stunting pada usia dini terutama pada periode 1000 HPK, akan berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). intervensi yang paling menentukan untuk mengurangi terjadinya stunting adalah intervensi pada usia 1000 HPK.

Intervensi stunting memerlukan konvergensi program/intervensi dan upaya sinergis pemerintah serta dunia usaha dan masyarakat. Perbandingan kasus stunting di Kota Palopo pada tahun 2020-2022 berdasarkan data e-PPGBM bulan Agustus pada tahun berjalan terlihat bahwa kasus stunting dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan jumlah kasus maupun prevalensi dari tahun 2020 sebanyak 531 kasus atau 8,33 % menjadi 421 kasus atau 4,20 %, dan pada tahun 2022 menjadi 344 kasus atau menjadi 3,24 %.

Hal ini disebabkan adanya kerjasama dan koordinasi oleh pemerintah maupun seluruh perangkat daerah terkait dalam melakukan konvergensi stunting. Kegiatan konvergensi terbut dilakukan dalam 8 Aksi Konvergensi Stunting dalam rangka percepatan pencegahan dan penurunan stunting di Kota Palopo.

Perbandingan kasus stunting di Kota Palopo pada tahun 2020-2022 berdasarkan data e-PPGBM bulan Agustus pada tahun berjalan menunjukkan bahwa dari data per kecamatan menunjukkan bahwa kecamatan yang paling tinggi penurunan prevalensi stunting berada di 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Wara Selatan yang prevalensi stuntingnya dari 19,1% pada tahun 2020 menjadi 3,7% pada tahun 2022, dan Kecamatan Wara Barat yaitu dari 18,7 % pada tahun 2020 menjadi 7,9% pada tahun 2022, serta Kecamatan Wara yaitu dari 5,7% pada tahun 2020 menjadi 2% pada tahun 2022.

Dari tersebut juga menunjukkan bahwa kecamatan Sendana, Wara Timur, Mungkajang Wara Utara, Bara dan kecamatan Telluwanua mengalami fluktuasi prevalensi stunting yaitu dimana terjadi kenaikan dan penurunan jumlah balita stunting setiap tahun. Selain itu, juga tercatat bahwa terjadi penurunan jumlah stunting di Kota Palopo dari 531 tahun 2020 menjadi 421 pada tahun 2021, dan pada tahun 2022 menjadi 344 balita.

Sedangkan untuk data prevalensi stunting menunjukkan bahwa terjadi penurunan prevalensi stunting di Kota Palopo dari 8,33% tahun 2020 menjadi 4,2% pada tahun 2021, dan di tahun 2022 menjadi 3,24 %. Kegiatan intervensi yang telah dilakukan untuk menurunkan angka stunting adalah dengan melakukan Konvergensi Stunting yang sudah masuk tahun kedua yang mana melibatkan seluruh perangkat daerah terkait mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan sampai ke tingkat keluarga.

Selain itu adanya kegiatan pencegahan melalui perbaikan gizi pada 1000 HPK berupa intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan pada ibu hamil yang kekurangan energi kronis menggunakan makanan tambahan lokal dan makanan pabrikan, peningkatan pelayanan pada ibu hamil seperti pemeriksaan minimal 6 kali selama masa hamil, pemberian tablet tambah darah, pemberian makanan tambahan pada balita gizi kurang, melakukan penyuluhan/konseling/pendampingan pada ibu hamil dan balita yang bermasalah gizi, pemberian vitamin dan pemantauan pertumbuhan.

Ditingkat Kota dilakukan beberapa pelatihan atau peningkatan kapasitas petugas seperti pelatihan ANC terstandar, pelatihan PMBA, dan adanya konselor ASI. Sedangkan kegiatan intervensi sensitive yang telah dilakukan seperti memastikan akses air bersih dan sanitasi yang baik, edukasi/konseling pada calon pengantin, menyediakan akses ke layanan kesehatan dan keluarga berencana, memberikan pendidikan pengasuhan pada orangtua, serta memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi
pada remaja.

Gambaran Kondisi Stunting di Kota Palopo

Di Kota Palopo ditemukan faktor determinan yang menjadi kendala terbesar penurunan stunting. Faktor determinan pencetus terjadinya stunting di Kota Palopo adalah adanya kebiasaan merokok yaitu sebanyak 277 orang, dengan kasus tertinggi berada di Kecamatan Telluwanua yaitu sebanyak 98 orang.

Faktor determinan terbesar kedua adalah masih terdapatnya riwayat ibu hamil sebanyak 61 oang, dan yang tertinggi ada di Kecamatan Telluwanua yaitu sebanyak 20 orang. Faktor determinan lainnya adalah adanya penyakit penyerta pada balita yaitu sebanyak 8 orang, serta masih adanya keluarga yang bermasalah dalam hal ketersediaan air bersih yang ada di wilayah kecamatan sendana.

Untuk infeksi kecacingan pada balita tidak ada, dan kepemilikan jamban sehat serta kepemilikan JKN pada semua kecamatan di Kota Palopo, tingkat rumah tangga sudah memiliki Jamban sehat dan Kartu JKN.

Selain itu, juga terdapat beberapa perilaku kunci yang membutuhkan perhatian yaitu perilaku merokok, dari data diatas (tabel 2) menunjukkan bahwa sebanyak 277 keluarga mempunyai kebiasaan merokok, dimana kebiasaan merokok merupakan faktor determinan penyumbang kasus stunting pada balita. Perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kepercayaan masyarakat, pekerjaan, dan pendapatan keluarga.

Perilaku merokok dapat menyebabkan terjadinya stunting pada balita baik secara langsung melalui paparan asap rokok maupun secara tidak langsung melalui pengalihan biaya belanja makanan menjadi biaya belanja rokok. Perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kepercayaan masyarakat, pekerjaan, dan pendapatan keluarga. Perilaku merokok dapat menyebabkan terjadinya stunting pada balita baik secara langsung melalui paparan asap rokok maupun secara tidak langsung melalui pengalihan biaya belanja makanan menjadi biaya belanja rokok.

Faktor Determinan yang lain adalah riwayat ibu hamil sebanyak 61 kasus dimana berdasarkan data Komdat (Laporan Dinas Kesehatan per Oktober Tahun 2022) kasus terbanyak adalah ibu hamil KEK 277 orang (7,9 %) dan Anemia sebanyak 60 orang (1,71 %), berdasarkan beberapa hasil penelitian mengatakan ada hubungan yang signifikan antara hubungan kurang energi kronik pada ibu hamil dengan kejadian stunting.

Ibu yang mengalami kekurangan energi kronik, memiliki risiko mempunyai balita stunting sebesar 27,4% dibandingkan dengan balita yang tidak mengalami stunting (Sukmawati, dkk, 2018). Faktor dari orang tua yang menjadi penyebab stunting dilihat pada kondisi ibu saat hamil yaitu ukuran lingkar lengan atas (LILA) yang menggambarkan Kurang Energi Kronik atau KEK, indeks masa tubuh, dan tinggi badan. Status gizi ibu pada masa sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung.

Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal, dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil. (Dalam jurnal luar negeri menurut Chopra, 2013). Penelitian yang dilakukan Ema Wahyu Ningrum (2017), yang berjudul status gizi kurang energi kronik (kek) dengan berat badan dan panjang badan bayi baru lahir, didapatkan hasil sebagian besar ibu hamil dengan KEK melahirkan bayi dengan panjang badan pendek 11 bayi (55%) dan sebagian besar ibu hamil tidak KEK melahirkan bayi dengan panjang badan normal 17 bayi (85%).Ibu dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan panjang badan pendek 6,296 kali dibanding ibu tidak KEK (95%CI;1,529- 31,377).

Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kekurangan energi kronis atau mengalami masalah gizi dalam waktu yang lama diikuti juga oleh masalah kekurangan gizi dalam Penyebab stunting diantaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam kandungan, asupan zat gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat pada masa bayi dan anak-anak serta seringnya terkena infeksi selama masa awal kehidupan, anak memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir, anak yang mengalami berat lahir yang rendah pada saat dilahirkan dan pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya serta status gizi ibu saat hamil (Kusuma, 2013 dalam jurnal Sukmawati, dkk, 2018).

WHO (2013) penyebab terjadinya stunting pada anak yaitu faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat kehamilan, tinggi badan ibu yang rendah, kehamilan usia remaja, IUGR, berat badan lahir, kehamilan preterm, jarak kehamilan yang pendek dan hipertensi, faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, makanan komplementer tidak adekuat, pemberian ASI yang salah seperti tidak ASI Eksklusif dan infeksi (Fikawati, 2017;h.280). Berbagai ahli menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor.

Faktor sebelum kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan dan faktor setelah kelahiran seperti berat bayi rendah, asupan gizi anak saat masa pertumbuhan, sosial- ekonomi, ASI Eksklusif, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan, dan berbagai faktor lainnya yang berkolaborasi pada level dan tingkat tertentu (Fikawati, 2107;h.280).

Upaya pemerintah dalam menanggulangi ibu hamil dengan resiko Kurang Energi Kronik menurut (Kemenkes RI, 2013;h.15) yaitu dengan cara meningkatkan pendidikan gizi ibu hamil tentang Kurang Enerrgi Kronik melalui pemberian Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), memberikan pelayanan gizi dan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu Anak) pada ibu hamil berupa pemberian tablet Fe, melakukan skrining terhadap ibu hamil resiko Kurang Energi Kronik, dan Pemberian Makanan Tambahan PMT bagi ibu hamil dengan resiko Kurang Energi Kronik melalui bimbingan gizi dan KIA secara berjenjang.

Dan berdasarkan data Komdat pada laporan Dinas Kesehatan Kota Palopo, menunjukkan bahwa ibu hamil yang anemia sebanyak 60 orang (1,71 %). salah satu faktor yang menyebabkan stunting dan BBLR adalah ibu hamil yang mengalami anemia. Anemia pada ibu hamil meningkatkan resiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), stunting, resiko perdarahan sebelum dan saat persalinan, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya jika ibu hamil teresbut menderita anemia berat.

Hal ini tentunya dapat memberikan sumbangan besar terhadap angka kematian ibu bersalin, maupun angka kematian bayi. Anemia pada ibu hamil juga terkait dengan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi termasuk resiko keguguran, lahir mati, prematuritas dan berat lahir rendah. Anemia dalam kehamilan sangat mempengaruhi panjang badan bayi yang dilahirkan. Menurut Setianingrum (2015) menyatakan bahwa seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobinnya dibawah 11 gr%.

Hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat badan yang rendah, stunting Kadar hemoglobin tidak normal pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan bayi berat lahir rendah (BBLR), dan gangguan perkembangan otak, resiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, stunting, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap janin.

Upaya pemerintah dalam mencegah keajidan anemia pada ibu hamil adalah dengan pemberian TTD di posyandu maupun di sarana fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Selain itu masih perlunya pemantauan pemberian dan konsumsi Tablet Tambah Darah bagi remaja putri juga perlu mendapat perhatian khusus. Beberapa hal tersebut masih membutuhkan intervensi dan pembinaan secara konvergensi dan berkelanjutan.

Kelompok Sasaran Beresiko

Kelompok beresiko yang perlu mendapatkan perhatian antara lain adalah calon pengantin, Ibu hamil, Ibu menyusui, bayi, dan baduta. Remaja puteri perlu disiapkan untuk menjadi calon pengantin pada usia idealnya, sehingga saat hamil bisa menjadi ibu hamil yang sehat dan berperilaku sehat sehingga bayi yang dikandungnya dapat lahir dengan selamat, sehat dan cerdas. Bayi yang dilahirkan berhak mendapatkan inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif dan pemberian makan bayi dan anak yang sesuai sehingga pertumbuhan otaknya dapat optimal dan berkontribusi pada peningkatan IPM di Kota Palopo di masa akan datang.

Berdasarkan hasil analisis stunting di tiga tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalensi stunting di kota Palopo. Faktor determinan yang sangat mempengaruhi kejadian stunting di kota Palopo adalah perilaku merokok, riwayat ibu hamil dan penyakit penyerta. Dimana pada saat ini kebiasaan merokok bukan hanya masalah orang dewasa namun juga marak di kalangan anak dan remaja.

Dengan memperhatikan hal tersebut maka di harapkan regulasi dan edukasi di masyarakat. Adanya peran dan dukungan serta koordinasi dari Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Dinas P2KB sangat diharapkan. Pemerintah Kota Palopo telah melakukan beberapa intervensi dalam percepatan penurunan stunting baik intervensi spesifik maupun intervensi sensitif, salah satunya dengan adanya program Bapak dan Bunda Asuh dengan Pemberian Makan Tambahan berbasis pangan lokal yang diadakan di beberapa bulan terakhir.

Dan diharapkan adanya koordinasi dan dukungan dari berbagai pihak di luar pemerintah untuk berkonvergensi/terpadu dalam mempercepat penurunan stunting diharapkan kedepannya lagi bisa membantu anak–anak yang mengalami resiko stunting, agar bisa mewujudkan Kota Palopo bebas stunting atau zero stunting pada tahun 2024.(*)

Pos terkait