KesehatanNasional

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Direstui Presiden, Naik Secara Bertahap

9
×

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Direstui Presiden, Naik Secara Bertahap

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan. (ft/ist)

Jakarta- Untuk keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Presiden Prabowo Subianto memberikan restu atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara bertahap, Selasa (28/10/2025).

Kenaikan iuran BPJS itu nantinya akan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Hal tersebut juga tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Salah satu analisis risiko fiskal yang dibuat oleh pemerintah yaitu terkait program JKN dan mitigasi penyesuaian iuran. Pemerintah menjabarkan bahwa kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) yang dikelola BPJS Kesehatan diperkirakan masih cukup terkendali hingga akhir 2025, namun menunjukkan tren penurunan yang perlu dimitigasi-salah satunya ialah karena terjadi kenaikan rasio klaim pada semester I/2025.

“Penyesuaian iuran [BPJS Kesehatan] dapat dilakuka secara bertahap dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi fiskal pemerintah. Pendekatan bertahap ini penting untuk meminimalisir gejolak sekaligis menjaga keberlanjutan program,” tertulis dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026 yang dikutip pada Senin (27/10).

Tak hanya besaran iuran, pemerintah juga mencermati dampak potensial terhadap APBN yang perlu dikelola dengan cermat. Terkait hal itu, setidaknya ada tiga poin yang disebut yakni, penyesuaian bentuan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), peningkatan kontribusi pemerintah untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU)/bukan pekerja (BP) kelas III, dan beban iuran pemerintah sebagai pemberi kerja peserta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Penyelenggara Negara.

Melalui jajarannya, Presiden Prabowo menilai, perlunya bauran kebijakan dan langkah-langkah pengendalian yang komprehensif, terutama dalam hal kepesertaan, kolektabilitas iuran, dan pengelolaan klaim manfaat jamintan kesehatan.

Dari aspek kepesertaan, sejumlah tantangan yang menjadi sorotan ialah tingginya jumlah peserta nonaktif, terutama dari kelompok PBPU dan BP yang menunggak iuran BPJS Kesehatan, serta peserta sehmen PBI dan PPU Badan Usaha yang belum mendaftarkan diri kembali seteleh pemberhentian.

Untuk diinformasikan, peserta PBI dalah masyarakat miskin yang iuran BPJS Kesehatannya dibayarkan oleh pemerintah, yakni sebesar Rp42.000 per orang, yang anggarannya menggunakan APBN.

Di tahun 2026 nanti, alokasi APBN tercatat Rp66,5 triliun untuk 96,8 juta peserta PBI. Sementara segmen PBPU adalah peserta mandiri atau pekerja yang tidak menerima upah tetap (baik bekerja lepas atau menjadi pekerja informal).

Untuk segmen Bukan Pekerja (BP) atau masyarakat yang tidak bekerja, seperti ibu rumah tangga maupun lansia. Mereka dapat mendaftar di tiga kelas BPJS yaitu kelas I, II, dan III.

Rincian iuran BPJS Kesehatan kelas I pada 2025 ialah Rp150 ribu per orang per bulan, sedangkan kelas II ialah Rp100 ribu per orang per bulan. Khusus intuk peserta PBPU dan BP kelas II, total iuran BPJS Kesehatannya ialah Rp42 ribu per orang per bulan.

Namun peserta PBPU dan BP kelas III, mereka hanya membayar Rp35 ribu per orang per bulan, sebab Rp7.000 susanya disubsidi oleh pemerintah.

Di tahun 2026 mendatang, pemerintah menyiapkan anggaran subsidi iuran BPJS Rp2,5 triliun untuk 49,6 juta peserha BPJS Kelas III. Meski demikian, masalah lain dalam aspek kepesertaan ialah inclusion dan exclusion error data peserta PBI yang berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara penerima manfaat dan kontribusi yang seharusnya dibayarkan.

Selain itu, terdapat pula masalah dampak potensi penurunan kondisi ekonomi, termasuk Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK Massal. Dimana permasalahan ini dapat mengurangi jumlah peserta PPU sehingga berpotensi meningkatkan peserta nonaktif.

Dalam pemerintahan Prabowo, juha mengindentifikasi beberapa kendala lainnya terkait efektivitas penerimaan iuran yakni rendahnya kepatuhan pembayaran iuran dari peserta PBPU dan BP yang mempengaruhi cash flow DJS Kesehatan Iuran JKN belum menjadi prioritan dalam proses penaggaran beberapa pemerintah daerah (Pemda).

Sehingga kendala ini terjadi kolektabilitas iuran di daerah belum optimal dampak inflasi dan perlambatan ekonomi, yang mengurangi kemampuan membayar iuran JKN (ability to pay) masyarakat, khususnya peserta mandiri dan pekerja informal.

Secara umum, terdapat indentifikasi tantangan pelaksanaan JKN, terutama terkait ketahanan pendanaan jaminan kesehatan, antara lain, tingginya jumla peserta nonaktif dari kelompok peserta PBPU dan BP yang menunggak iuran Implementasi pemanfaatan DTSEN dalam penetapan peserta PBI Jaminan Kesehatan yang memerlukan waktu penyesuaian Dampak inflasi dan perlambatan ekonomi.

Dampak inflasi dan perlambatan ekonomi ini mengurangi kemampuan membayar iuran Jaminan Kesehatan oleh masyarakat Peningkatan beban klaim akibat meningkatnya utilisasi layanan kesehatan untuk penyakit katastropik dan berbiaya tinggi Potensi kenaikan tarif layanan kesehatan Implementasi kebijakan kelas rawat inap standar (KRIS) yang juga berpotensi menaikan biaya jaminan kesehatan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *