JAKARTA – Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin meminta agar aset First travel dikembalikan kepada para jamaah korban penipuan. Kendati demikian proses hukum harus dijalankan terlebih dahulu.
“Itu kan dananya jemaah. Ketika asetnya (First Travel) disita, ya harus dikembalikan ke jemaah lagi. Nanti kita serahkan kepada pihak otorita, mereka punya mekanisme sendiri, caranya yang adil, yang penting itu prinsipnya adil,” kata Wapres Ma’ruf Amin di Kantor Wapres, Medan Merdeka Utara, Jakarta, kemarin.
Soal hitungannya, Wapres menyebut bisa saja dilakukan perhitungan dari data inventarisasi yang dimiliki PT First Travel, terkait jumlah pendaftar umrah dan haji yang menjadi korbannya. Melalui proses peradilan, aset tersebut juga bisa dikembalikan kepada jemaah yang selama ini jadi korban dari terdakwa pasangan suami-istri Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan.
”Dari jumlah dana yang dikumpulkan First Travel itu, berapa persen besar masing-masing itu, kalau dihitung dari dana yang terkumpul berapa persen per orang, dana yang terkumpul berapa banyak, ya tinggal (dihitung) berapa persen dari dana yang terkumpul,” katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) dalam Surat Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 memutuskan bahwa barang bukti kasus penipuan PT First Travel harus dikembalikan ke kas negara. Barang sitaan yang tercatat ada sebanyak 820 item, yang 529 di antaranya merupakan aset dan dana sebesar Rp1,537 miliar.
Sementara itu Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, MA sudah mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat karena kasusnya sudah inkrach. Karena itu, putusan itu harus dilakukan. “Pemerintah tidak boleh ikut campur dan tidak boleh tidak setuju atas vonis itu. Laksanakan saja dulu. Nah sesudah harta itu ada di pemerintah, nanti biar Jaksa Agung yang mencari jalan,” kata Mahfud.
Menurutnya, secara hukum dan akademis, putusan MA itu tidak bisa dibatalkan oleh pemerintah karena itu sudah final dan mengikat. “Oleh sebab itu, ya sudah itu putusannya harus begitu. Kalau kita menolak putusan MA dengan alasan kasihan kepada rakyat, besok akan timbul lagi masalah yang sama, menuntut orang agar diperlakukan seperti itu,” urainya.
Oleh sebab itu, tutur Mahfud, biarkan saja putusan MA tersebut dilaksanakan. Jika memang jaksa akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan tersebut, menurutnya hal itu sah-sah saja. “Tetapi kalau tidak, ya itu tadi, pokoknya diambil dulu, lalu secara hukum administrasi diproses sedemikian rupa. Misalnya negara menghibahkan kepada yang berhak semula, kalau uangnya cukup,” katanya.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, dalam menyikapi putusan MA, setuju atau tidak, suka atau tidak, kalau sudah inkrach maka putusan tersebut itu sudah mengikat. “Itu universal hukumnya. Kalau dalam kaidah fikih itu dalilnya ‘hukmul khakimu yarfaul khilaf’.
Keputusan hakim itu mengakhiri perkara, begitu. Kalau sudah keputusan hakim, sudah final, ya sudah selesai. Sekarang masuk ke persoalan administrasi, soal perdatanya, ke soal eksekusinya dan sebagainya,” katanya. Jika saat ini ada wacana untuk mengembalikan uang para korban, menurut Mahfud itu sebagai langkah yang bagus karena itu uangnya masyarakat.
“Tetapi MA itu pertimbangannya harta itu disita untuk negara. Jaksa Agung dan Menteri Agama yang saya baca, misalnya juga akan mengembalikan uang rakyat yang menjadi korban, ya silahkan saja nanti juga melalui hukum juga. Kan pemerintah bisa menyita dulu, lalu mau diapakan harta itu yang penting nanti minta penetapan pengadilan, itu bisa dicari. Yang penting sekarang vonis MA menyatakan First Travel itu disita kekayaannya untuk negara dan pemerintah tidak boleh ikut campur dan tidak boleh tidak setuju atas vonis itu. Laksanakan saja dulu,” katanya. (*)
Sumber : Sindonews