PALOPO — Menara Payung yang akan dibangun Pemkot Palopo, tidak melupakan filosofi budaya Tana Luwu. Dari ekspose yang dilakukan pihak konsultan dari PT Saran Multi Infrastruktur dan PT Yodya Karya, terungkap bahwa bagian-bagian yang akan dibangun di Menara Payung punya makna tersendiri.
Fadli Ibrahim dari PT Yodya Karya menjelaskan, Menara Payung tingginya mencapai 86 meter. Lebih menjulang dibanding Monumen Mandala di Makassar yang tingginya hanya 75 meter. ” ketinggian menara payung yang mencapai 86 meter dan luas kabin 19 meter persegi, menyimbolkan angka “1986” yang berarti tahun berdirinya kota administratif (kotif) Palopo,” kata Fadli.
Bentuk menara dengan ornamen 5 bilah badik yang terletak di bagian luar dasar menara dan menara payung itu sendiri yang berbentuk segi lima.
“Lima badik melambangkan tampilan senjata khas daerah ini, serta berbentuk segi lima yang memberi simbol 5 unsur Pangadereng yang meliputi: ade’ (adat), raapoang (undang-undang), wari’ (aturan stratifikasi sosial), bicara (pengadilan) dan kelima, sara’ (agama),” paparnya.
Pembagian 7 zona dalam kawasan Menara Payung ini juga memiliki makna filosofi pada konsep dasar kepemimpinan Kedatuan Luwu. 7 filosofi yang dimaksud adalah meliputi : Acca (Kecakapan), Warani (Ksatria), Lempuq (Jujur), Assitinajang (Kepatutan), Getteng (Ketegasan), Masagena (Kemampuan), dan Makaritutu (Kewaspadaan).
Tujuh zona yang ada di kawasan menara payung tersebut meliputi: area cendera mata, amphitheater, area kuliner, area edukasi, area ruang public, area istana kedatuan Luwu dan area transisi.
” Nah, semua yang ada dalam kawasan menara payung ini memiliki nilai-nilai filosofis Budaya Tana Luwu serta sejarah berdirinya Kota Palopo itu sendiri, ini sesuai dengan keinginan Walikota Palopo yang menekankan pada aspek Budaya, Sejarah dan kearifan lokal Tana Luwu tidak semata-mata pada unsur estetika (keindahan) semata,” pungkasnya. (*/adn)