SALSA sebentar lagi lulus sekolah dasar. Naila, kakaknya, mengajak dia untuk ikut mondok di Sekolah Putri Darul Istiqamah (Spidi), Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Namun, Salsa ogah. Sebab dia tahu, di boarding school itu santri tidak boleh membawa ponsel.
“Tidak mau, nanti saya gaptek,” protes Salsa.
Namun semua berubah ketika Naila memperlihatkan profil sekolahnya yang tayang di Youtube. Santri Spidi memang tak membawa ponsel dari rumah. Namun, pihak pondok menyediakan ratusan tablet dan laptop yang bisa diakses setiap saat. Asyiknya, belajar tak selalu di ruang kelas yang terbatas dinding tembok.
Spidi memiliki rumah-rumah kayu yang dijadikan kelas. Santri pun bisa belajar seolah berada di gazebo pinggir pantai. Apalagi, sekeliling pondok penuh dengan pepohonan rindang. Bunga-bunga bermekaran di halaman.
Naila memperlihatkan justru para santri Spidi bisa menjadi lebih unggul dalam dunia digital. Sebab, proses pembelajarannya pun nyaris semua dengan teknologi. Semua bisa memegang perangkat. Hanya saja, kontennya terbatas soal pendidikan dan wawasan yang disesuaikan dengan usia anak-anak.
Akhirnya, Salsa pun setuju mondok bersama kakaknya. Sebab tinggal di pesantren modern itu ternyata tak membuat anak-anak dijauhkan dari teknologi. Sebaliknya, didekatkan dengan kemajuan namun dengan kontrol yang lebih terarah.
Naila memang tidak sedang berbohong kepada adiknya agar mau mondok. Sebab, nyatanya Spidi memang sudah diakui sebagai sekolah dengan literasi digital yang baik. Sejak 2022, Spidi dinobatkan sebagai Google Reference School atau Sekolah Referensi Google. Predikat ini diserahkan oleh pimpinan Google untuk Asia Pasifik. Spidi menjadi sekolah pertama di kawasan timur Indonesia dan ketiga di Indonesia yang dinobatkan sebagai Google Reference School.
“Pertama kali di timur Indonesia dan pertama di luar Jawa,” ucap Muzayyin Arif, Ketua Dewan Pembina Spidi.
Muzayyin menegaskan, sekolahnya tak hanya konsisten mencetak generasi berakhlak dan salehah, namun juga melek digital.
Terbaru, Amanda Aisyah Zasqia Arifin, siswi kelas XII Sekolah Putri Darul Istiqamah (Spidi) Maros, tampil percaya diri saat membawakan presentasi bertema “Aplikasi Manajemen Tugas Siswa dengan Gemini”.
Di hadapan puluhan siswa dan guru dari berbagai sekolah di Indonesia, Amanda, anggota Siswa Google Mania (SIGMA) dengan lugas menjelaskan cara kerja Gemini, keunggulan AI generatif besutan Google, serta potensinya dalam menunjang proses pembelajaran.
Dalam presentasi berdurasi sekitar satu jam, Amanda juga memaparkan bagaimana Gemini membantu membuat aplikasi tanpa perlu coding. “Tanpa mendalami coding, siapa pun bisa membuat aplikasi menggunakan Gemini. Ini langkah revolusioner yang membuka peluang besar bagi banyak orang,” ujar Amanda.
Ia juga menambahkan bahwa Gemini sangat membantu dalam menyelesaikan tugas sekolah. “Saya sering menggunakan Gemini karena jawabannya lebih akurat dan terstruktur,” tuturnya.
Kepala Spidi, Irmayanti menyatakan kebanggaannya. “Alhamdulillah, Amanda sukses. Kami pilih dia karena minat IT-nya kuat dan pernah membuat proyek digital sebelumnya,” ujarnya. Penampilan Amanda turut menuai pujian dari Leader Google Educator Group Pasuruan, Liza Timmy Zulva.
“Spidi dan siswanya patut tampil di APAC (Asian Pasifik). Amanda keren, tetap tenang dan bisa improvisasi saat jaringan lemot,” tulis Liza.
Amanda membuktikan, santri pun mampu bersaing di dunia digital global.
Penerapan PP Tunas
Apa yang diterapkan di Spidi sejalan dengan program pemerintah Indonesia memperkuat melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya. Sejak 1 April 2025, ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
Di tengah pesatnya arus informasi, ancaman terhadap kelompok rentan—terutama anak-anak—kian nyata. Paparan konten berbahaya, manipulatif, hingga eksploitasi digital telah menjadi keresahan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa PP TUNAS adalah respons strategis pemerintah untuk mengatasi persoalan ini secara sistematis.

“Kami di Komdigi tidak hanya melihat dampaknya (ruang digital) terhadap anak-anak, tetapi kepada keseluruhan. Bagaimana ruang digital ini berdampak kepada seluruh warga negara yang menggunakan,” ujar Meutya.
PP TUNAS secara khusus mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menyaring konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. Selain itu, PP ini mengatur kewajiban PSE untuk memverifikasi usia pengguna dan menerapkan pengamanan teknis yang dapat memitigasi risiko paparan konten negatif. Bagi pelanggar, PP TUNAS menetapkan sanksi administratif hingga pemutusan akses terhadap platform yang tidak patuh.
“Kita melihat ada aplikasi-aplikasi yang memang nakal. Ini bukan semata hasil algoritma yang menyesuaikan minat pengguna, tapi ada kecenderungan konten-konten ini memang sengaja diarahkan ke kelompok rentan termasuk anak-anak,” tegas Meutya.
Data terbaru menunjukkan bahwa 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun, menjadikan regulasi ini sangat mendesak. Meutya menekankan bahwa PP TUNAS tidak hanya melindungi anak-anak, tetapi menciptakan ruang digital yang aman untuk semua pengguna.
“Ketika keamanan ekosistem digital diperkuat, yang diuntungkan bukan hanya anak-anak tapi juga semua orang yang berada di ranah digital. Kita ingin semua pihak nyaman, karena aturannya jelas seperti aturan main di pasar,” jelas Meutya.
Meutya juga menyoroti bahwa PP TUNAS lahir untuk memperkuat kolaborasi pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan digital. Pemerintah membuka ruang dialog untuk penyempurnaan regulasi dan mendorong komitmen kolektif dari seluruh platform digital.
“Platform digital harus siap menerima kritik. Banyak dari mereka yang niatnya baik dan kita hargai itu. Tapi negara tetap harus hadir mengatur ketika ada yang menyalahgunakan ruang digital,” tandasnya.
Dengan dasar hukum yang jelas dan mekanisme pengawasan yang diperkuat, PP TUNAS diharapkan menjadi pondasi bagi ekosistem digital Indonesia yang lebih aman, beretika, dan berpihak kepada kepentingan nasional.
Tekan Risiko
Transformasi digital di Indonesia memang membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengakses informasi, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Perkembangan ini membuka peluang besar untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa, namun juga memunculkan tantangan serius, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan.
Risiko seperti paparan konten negatif, penyalahgunaan data pribadi, cyberbullying, hingga kesenjangan literasi digital menjadi isu yang memerlukan perhatian serius.
Data We Are Social dan Kepios (2025) mencatat 79% penduduk Indonesia terhubung ke internet, dengan penetrasi media sosial mencapai 73%. Sementara survei Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Pelindungan Anak (2024) menunjukkan 4 dari 10 anak pernah terpapar konten tidak sesuai usia, dan 1 dari 5 mengalami kekerasan atau perundungan daring.
Angka ini menegaskan urgensi menciptakan ruang digital yang sehat, aman, dan berkeadilan. Data UNICEF (2024) menunjukkan bahwa satu dari tiga pengguna internet di Indonesia Adalah anak-anak, sementara survei APJII 2024 mencatat penetrasi internet nasional telah mencapai 79,5% populasi. Angka ini menggambarkan besarnya peluang sekaligus tantangan dalam melindungi generasi muda dari paparan konten berbahaya, penipuan daring, eksploitasi, dan kekerasan berbasis gender online ( online gender-based violence).
Tanpa tata kelola yang kuat, risiko tersebut dapat menghambat tumbuh-kembang anak secara optimal.
Itu juga yang membuat Presiden Prabowo Subianto menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak atau PP TUNAS.
Regulasi ini mengatur pembatasan akses berdasarkan usia, kewajiban edukasi digital, larangan profiling untuk kepentingan komersial, serta sanksi bagi pelanggaran. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah melakukan sosialisasi luas kepada anak-anak, kelompok rentan, orang tua, guru, komunitas, platform digital, dan lembaga terkait.
Banjir Prestasi
Kembali ke pondok putri di Spidi Maros, pengawasan yang ketat namun tidak mengekang terbukti melahirkan generasi yang unggul di bidang digital.
Spidi antara lain menerapkan pemanfaatan chromebook, perangkat yang menawarkan solusi yang efisien, aman, dan terjangkau bagi sekolah, menjadikannya alat yang sangat ideal untuk mendukung pembelajaran jarak jauh maupun tatap muka.
Dengan integrasi yang mulus dengan ekosistem Google for Education, Chromebook membuka pintu bagi kolaborasi, kreativitas, dan akses tanpa batas ke sumber daya pendidikan yang relevan, mempersiapkan siswa menghadapi tantangan di masa depan.
Kemudian, pembelajaran AI dan Coding memadukan kurikulum nasional dan kurikulum coding internasional dari lembaga kerja sama Parallaxnet dan CodingNext.
Selanjutnya Adalah digitalisasi pembelajaran. Guru-guru memanfaatkan media pembelajaran seperti video interaktif dan buku elektronik, aplikasi pembelajaran pada berbagai mata pelajaran, simulasi dan Virtual Reality (VR), proses penjelasan materi dan evaluasi melalui gamifikasi serta pembuatan karya digital berupa satu siswa satu website. Selain itu, setiap siswa juga wajib memiliki sertifikat IT yang dapat digunakan secara global seperti google certified education for student (sertifikasi kemampuan penggunaan alat-alat google education) dan Parallaxnet.

Direktur Pendidikan Spidi, Riza Sativani Hayati, mengatakan, sekolah Islam khusus putri ini menekankan pendekatan pendidikan yang menyeimbangkan akhlak, Alquran, dan akademik.
Selain unggul dalam bidang tahfiz dan ilmu agama, Spidi Maros juga menorehkan prestasi di berbagai bidang. Dalam satu tahun ajaran terakhir, para santriwatinya telah meraih sekitar 400 prestasi, dengan 90 persen di antaranya merupakan capaian tingkat nasional.
“Prestasi paling banyak diraih di bidang akademik, kemudian disusul oleh bidang bahasa, seni, dan olahraga. Kami memang mendorong para siswa aktif membangun portofolio sejak dini. Kalau ada kompetisi, kami akan ikutkan,” imbuh Riza.
Ketua Dewwan Pembina Spidi Maros, Muzayyin Arif, menyampaikan apresiasi atas konsistensi sekolah dalam mencetak generasi unggul. “Alhamdulillah, sekolah ini terus berkembang dan menghasilkan santri-santri berprestasi, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Salah satu santri kami bahkan diterima di universitas di Mesir, dan lainnya masuk ke kampus-kampus ternama dalam negeri,” tuturnya.
Ia menambahkan, Spidi terus memperluas jejaring kerja sama dan penandatanganan MoU dengan berbagai kampus, baik di tingkat provinsi maupun nasional, untuk mendukung kelanjutan studi para santriwati.
“Ada dua pilar utama yang kami pegang, yaitu pembangunan karakter moral berbasis nilai keagamaan dan budaya, serta penguatan literasi digital yang sangat dibutuhkan di era saat ini,” tandas Muzayyin.
Sedangkan mengenai PP Tunas, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan pun angkat bicara. Sebab, KPAI, lembaga independen negara yang bertugas mengawasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak di Indonesia, turut dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan ini.
PP TUNAS mengatur bahwa anak-anak di bawah usia 13 tahun tidak diperbolehkan membuat akun digital tanpa persetujuan orang tua. Sementara itu, anak usia 13–17 tahun harus mendapat izin dan pengawasan dari orang tua saat mengakses platform digital.
Kawiyan menyatakan bahwa regulasi yang menitikberatkan pada aspek kontrol orang tua dan platform digital ini akan menciptakan lingkungan digital yang lebih ramah anak.
“PP TUNAS memuat kewajiban, tanggung jawab, bahkan larangan bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk tanggung jawab sosial untuk melakukan edukasi dan pemberdayaan ekosistem digital kepada masyarakat,” ujarnya.
Kawiyan menggarisbawahi bahwa PP TUNAS ini penting sebagai langkah awal. Namun, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. “Tidak semua orang tua memiliki literasi digital atau waktu yang cukup untuk membimbing anak-anak mereka,” katanya.
Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan literasi digital keluarga, karena inilah kunci sukses pelaksanaan PP TUNAS. “Ini soal bagaimana (orang tua) membangun kesadaran anak untuk berkomunikasi secara bijak di ruang digital.”
Hal lain yang juga sangat penting adalah orang tua harus memberi contoh kepada anak-anak, termasuk disiplin waktu dalam menggunakan gawai dan media sosial. Ini adalah pekerjaan rumah bagi seluruh orang tua di negeri ini. (imam dzulkifli)