Setelah Jepang menduduki Sulawesi Selatan, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risadju lakukan, karena pada masa itu, Jepang melarang adanya kegiatan politik organisasi pergerakan kebangsaan, termaksud PSII.
Tidak berlangsung lama, Jepang menyerah dengan tentara sekutu NICA. Saat NICA menduduki tana Luwu pada tahun 1956, bersama Pemuda Republik, Opu Daeng Risadju melakukan penyerangan terhadap tentara NICA, karena mendapatkan serangan balik yang betubi-tubi, banyak dari pemuda repubik yang gugur.
Karena dianggap duri, tentara NICA kemudian mencari keberadaan Opu Daeng Risadju, dan berhasil menangkap Famajjah di Lantoro, ia dibawa ke Watangpone dengan berjalan kaki dengan menempuh jarak sepanjang 40 KM. Setelah 11 bulan ditahan olah tentara NICA dengan lokasi penjara yang berpindah-pindah, ia dibebaskan tanpa diadili, dan memilih menetap di Belopa.
Sebelum wafat pada 10 Februari 1964, opu Deang Risadju sempat sempat kembali ke Pare-pare untuk tinggal bersama anaknya Haji Abdul Kadir Daud pada tahun 1949, dan kemudian kembali ke Palopo Setelah anaknya meninggal dunia.
Karena memegang peranan penting dan secara aktif dalam perjuangan kebangkitan nasional dan masa revolusi fisik kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di tana Luwu, ia diberi julukan Srikandi dari Tana Luwu.
Saat Meninggal dunia, Opu Daeng Risadju dimakamkan di Perkuburan raja-raja Lokko di Palopo, namun disayangkan pemakamannya dilaksanakan tanpa upacara kehormatan, seperti proses pemakaman pahlawan ataupun keturunan bangsawan lainnya. (*)