JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk memisahkan pemilihan umum (pemilu) menjadi dua bagian. Kini dikenal pemilu nasional (presiden, DPD, DPR RI) dan pemilu lokal (DPRD, kepala daerah).
Keputusan ini menurut pakar hukum tata negara, Mahfud MD berpotensi menimbulkan kerumitan hukum baru. Namun Mahfud mengingatkan putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tetap harus dilaksanakan.
“Putusan itu tidak boleh tidak, harus dilaksanakan, putusan MK ini menurut saya harus diterima meskipun menimbulkan kerumitan hukum baru,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang Mahfud MD disimak pada Jumat (11/7/2025).
Lewat putusan itu, MK menyatakan sejak 2029 pemilu nasional dan lokal akan dipisah, kepala daerah dan DPRD dipilih 2/2,5 tahun sesudah pemilu nasional. Hal ini menurut Mahfud bakal bisa menimbulkan masalah. Sebab, posisi gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia akan mengalami kekosongan.
Walau bisa diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota, namun masa jabatan yang bisa sampai 2,5 tahun tentu merampas hak demokrasi.
“Apalagi, DPRD tidak bisa pakai penjabat karena harus orang yang dipilih, dan jika ditunda 2,5 tahun terjadi kekosongan,” ujar Mahfud.
Mahfud melihat MK bisa buang badan karena dalam putusan butir 3.16 disebutkan masa transisi diserahkan ke pembentuk UU, yaitu Presiden dan DPR untuk mengatur. Artinya, sebelum pertengahan 2027 UU wajib sudah jadi karena pertengahan 2027 tahapan pemilu sudah mulai.
“MK telah membuat kerumitan hukum, saya melihatnya juga MK terlalu masuk ke open legal policy, seharusnya hal itu tidak diatur oleh MK, masalah jadwal masalah apa, mestinya urusan pembentuk UU. Apakah ada pelanggaran terhadap open legal policy, banyak, tapi kalau betul-betul melanggar UUD, kalau ini apa, tidak ada pelanggaran hukumnya,” ujar Mahfud.
Mahfud juga menyoroti konstruksi hukum masalah jadwal pemilukada yang sudah empat kali diuji ke MK. Pasalnya, MK sudah punya sikap yang sebenarnya sudah baik, tapi putusan MK terakhir membuat MK kurang konsisten, membuka kotak pandora untuk terjadinya sesuatu keributan.
Pada 2004, Mahfud mengingatkan, sudah ada putusan MK yang dipakai terus yaitu Putusan MK Nomor 72 dan 73. Isinya, MK memutuskan pemilu yang demokratis yang berlaku bagi pilkada sesuai perintah Pasal 18 UUD itu bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
“Dengan adanya putusan MK bisa liar loh ini, bisa muncul lagi, sudah kalau begitu kita kembali ke DPRD saja, wong itu dulu sudah didukung dan sudah berjalan, bisa, karena kata MK itu bisa langsung atau tidak langsung itu sama konstitusionalnya, jangan-jangan bisa liar ke situ nanti,” ucap Mahfud.
Kemudian, soal jenis-jenis pemilihan yang konstitusional sudah ada Putusan MK Nomor 14/2013 dan yang sedang berlaku jenis ketiga yaitu DPR, DPD, Presiden, Wapres, DPRD dan kepala daerah dipilih di tahun yang sama. Tapi, sekarang MK inkonsisten dengan memilih jenis keempat.
Lewat Putusan Nomor 135/2024 yang terbaru, menurut Mahfud inkonsistensi itu dikuatkan karena menyatakan pemisahan tahun itu harus dilakukan 2029. Mahfud menilai MK sudah masuk open legal policy, membuka kotak pandora dan mungkin memicu kegaduhan-kegaduhan politik yang diinginkan.
“Bisa kembali ke situ perdebatan dan itu buang-buang energi karena banyak hal lain yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi, tapi kita tetap harus bersikap konstitusionalis, putusan MK ini harus dilaksanakan, dalam arti harus segera dibuat UU, apapun ujung dari UU itu, apakah ke yang semula Putusan Nomor 72 atau ke ujung yang lain, itu perdebatan di lapangan politik,” ujar Mahfud. (*)