JAKARTA – Astronomer menemukan planet yang temperatur permukaannya mencapai 1.000 derajat Celcius. Tidak hanya itu waktu revolusi planet ini sangat singkat di mana satu tahun di planet ini hanya berdurasi 18 jam.
Dilansir ritmee.co.id dari Detikcom yang dikutip dari New York Post, Jumat (21/2/2020) planet yang diberinama NGTS-10b ini berjarak sekitar 1.000 tahun cahaya dari Bumi. Karena berbentuk planet gas raksasa dengan suhu permukaan yang sangat tinggi, planet ini termasuk disebut sebagai ‘Jupiter panas’.
“NGTS-10b adalah planet seukuran Jupiter yang mengorbit bintang tidak begitu jauh dari matahari kita,” kata peneliti dari University of Warwick, James McCormac.
Planet ini bergerak sangat cepat karena jaraknya yang sangat dekat dengan bintangnya, sekitar 27 kali lebih dekat dibanding jarak Merkurius ke matahari. Karena durasi satu tahun di planet ini sama dengan 18 jam, NGTS-10b termasuk salah satu planet yang langka.
“Dari ratusan Jupiter panas yang saat ini diketahui hanya ada tujuh yang memiliki periode orbit kurang dari satu hari,” jelas McCormac.
NGTS-10b juga termasuk salah satu planet yang mengalami penguncian pasang surut (tidak locked). Artinya, satu sisi planet ini terus menghadap bintangnya selama mengorbit.
Dikombinasikan dengan jaraknya yang terbilang dekat dengan bintangnya, temperatur di salah satu sisi planet ini bisa mencapai 1.000 derajat Celcius.
Tapi, astronomer memperkirakan planet ini sudah hampir sekarat. Hal ini dikarenakan jaraknya yang sangat dekat dengan bintangnya sehingga kekuatan pasang surut bisa menghancurkan planet ini. Atau alternatifnya, planet ini bisa disedot oleh bintangnya.
Peneliti berencana untuk terus mengawasi planet NGTS 10-b selama beberapa puluh tahun ke depan untuk melihat nasibnya. Selain itu mereka juga berharap temuan ini bisa membantu untuk memahami komposisi dari Jupiter panas.
“Selama beberapa puluh tahun ke depan, ada kemungkinan kita melihat planet ini bisa tersedot. Itu akan membantu kami untuk melihat struktur dari planet yang belum kita ketahui,” kata salah satu penulis studi ini, Daniel Bayliss. (*)