BULUKUMBA — Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Bulukumba menggelar dialog lintas agama dengan berbagai kalangan masyarakat dan profesi. Kegiatan yang bertujuan untuk mempersatukan umat dan masyarakat dalam menguatkan NKRI digelar Cafe Wow Jalan Lanto Dg Pasewang, Senin 4 November 2019.
Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto didaulat sebagai pembicara bersama dengan Kapolres AKBP Syamsu Ridwan, Ketua MUI KH. Tjamiruddin. Adapun peserta dialog berasal dari tokoh lintas agama dari Katolik dan Protestan, serta perwakilan dari KUA dari tiap kecamatan.
Kepala Tata Usaha Kemenag, Muh. Yunus mengungkapkan jika pertemuan tersebut membahas beberapa poin, seperti isu radikalisme, pakaian cadar dan celana cingkrang. Selain itu forum tersebut juga membahas tentang hak-hak pemenuhan rumah ibadah bagi pemeluk agama, dan kewaspadaan Kerukunan Umat Beragama (KUB) jelang kontestasi Pilkada 2020.
“Poin selanjutnya mengenai isu aliran yang tidak sesuai kearifan lokal masyarakat setempat, kesepahaman SOP pendirian ormas, dan memahami SKB 2 Menteri tentang tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pemeliharaan KUB,” bebernya.
Tomy Satria Yulianto mengatakan, radikalisme tak hanya diisukan pada kelompok tertentu seperti Islam sebagai agama yang besar di Indonesia. Namun radikalisme harus dilihat dari perilaku kelompok atau individu yang tidak toleransi terhadap kelompok lainnya.
“Kita sama-sama untuk melakukan pencegahan radikalisme. Tentunya penting untuk melakukan langkah-langkah persuasif,” katanya.
Radikalisme dalam gagasan Tomy, selain tentang informasi keagamaan juga banyak dari faktor sosial dan ekonomi. Mendeteksi cikal bakal radikalisme dan mencegahnya harus dilakukan secara menyeluruh dan menjadi tanggung jawab bersama.
“Kita bukan hanya terfokus pada pendekatan keagamaan tapi pada aspek sosial dan ekonomi. Mereka merasa tereliminasi dari lingkungannya,” jelasnya.
Terkait penggunaan cadar, kata Tomy jika ada keluhan dari masyarakat, maka pemerintah akan melakukan dialog sebelum mengambil kebijakan. Sedangkan penggunaan celana cingkrang ditanggapi sebagai life style sepanjang yang bersangkutan tidak ada batasan-batasan dalam bergaul.
Menurutnya yang sedang marak adalah penggunaan masker oleh ASN yang dinilai tak pas dalam standar etika. Terlebih bagi ASN yang berada pada unit pelayanan masyarakat yang tugasnya memberikan informasi pada khalayak umum.
“Kalau penggunaan masker ini meniru life style di Korea. Nah ini tidak pas bagi petugas di unit layanan,” tegasnya.
Menjelang Pilkada, lanjut Tomy, politik identitas juga menguat. Pemetaan agama, sosial, suku dan lainnya dilakukan orang atau kelompok tertentu untuk menarik simpati. KUB tidak boleh hanya fokus pada agama tapi juga harus mencairkan strata sosial dan lainnya di lingkungan masing-masing.
Tomy berharap pertemuan itu dapat melahirkan sejumlah rekomendasi yang dapat memberikan pencerahan pada masyarakat.
Kapolres Bulukumba, AKBP Syamsu Ridwan mengatakan, radikalisme tak bisa dipisahkan dari sikap intoleransi individu atau kelompok tertentu. Pemahaman negatif yang dianut menganggap bahwa kelompok orang lain haram atau salah sehingga menimbulkan sentimen yang sifatnya radikal.
Radikalisme dijelaskan sebagai ide gagasan atau pemahaman terkait dengan keinginan merubah satuan suatu sistem ideologi, politik, dan sistem pemerintahan secara masif secara mendadak. Ini diwujudkan dengan tindakan kekerasan misalnya pengeboman, pembunuhan, penculikan dan lainnya yang menjadi tindakan terorisme.
“Tindakan menakut-nakuti orang atau kelompok tertentu. Pemahaman intoleransi ini dibawa oleh kelompok radikal,” jelasnya. (rls)