JAKARTA – Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Sadzily menyoroti keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan aset First Travel disita untuk negara. Dia mengatakan, keputusan tersebut sebagai sesuatu yang aneh dan janggal.
“Negara sama sekali tidak dirugikan dengan proses yang terjadi akibat dari kasus First Travel ini. Ini merupakan sesuatu yang membuat kami aneh dan janggal,” ujar Ace seperti dikutip ritmee.co.id dari Sindonews, Kamis (21/11/2019).
Ketua DPP Partai Golkar ini mengatakan, negara lalai terhadap korban First Travel karena proses pengawasan dan pemantauan penyelenggara ibadah umrah terhadap travel-travel seperti First Travel, negara seperti cuci tangan.
“Malah yang ada justru negara lalai terhadap praktik penyelenggaraan umrah yang seharusnya negara hadir memberikan proteksi terhadap calon jamaah umrah yang ingin menunaikan ibadah umrah,” tuturnya.
Dia menegaskan, sebenarnya kasus First Travel akibat dari ketidakmampuan negara, memantau, mengawasi dan melakukan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap para warga negara Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah umrah.
Komisi VIII, kata Ace, beberapa kali memanggil Kementerian Agama terkait penyelenggaraan ibadah umrah. Termasuk First Travel yang menarik dana dari masyarakat tanpa dikontrol bagaimana audit keuangan dari setiap penyelenggara travel tersebut.
“Makanya kasus yang terjadi pada First Travel, sesungguhnya bukan hanya satu ini aja. Sebelumnya ada Abu Tour melakukan hal yang sama. Nah, alih-alih ini diselesaikan dengan mulai proses hukum, yang terjadi malah aset-aset First Travel tersebut malah diserahkan oleh proses hukum kepada negara. Inilah yang menurut saya agak aneh dan janggal,” katanya.
Keanehan ini, menurut Ace, perlu dicarikan solusi dan diluruskan. Untuk memastikan kepastian nasib para korban, ada berbagai macam solusi, misalnya melalui proses hukum perdata.
”Tetapi yang paling penting sebetulnya adalah negara harus memberikan kepastian terhadap para korban ini. Caranya menurut saya, perlu dihitung ulang aset yang ada nilainya berapa, lalu sisanya kalau perlu negara membiayai,” urainya. (*)