RITMEE – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutai Timur (Kutim) di bawah kepemimpinan Dr. Hj. Sulastin, S.Sos, M.Kes, MM konsisten untuk melindungi perempuan dan anak dari korban kekerasan.
Kadis DP3A Kutim melalui Sub. Bagian umum dan kepegawaian DR. M. Mega Pujiyanti, S. E, M. SI mengatakan kepada masyarakat agar segera melaporkan bila terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, tapi kasus itu tertutupi. Mungkin karena korban takut dipukul suami atau melindungi suaminya. Jadi karena takut itu, mereka lebih pilih menutupinya,” kata Mega Pujianti.
Dia menjelaskan, selain takut, ada faktor lain sehingga perempuan enggan melaporkan tindak kekerasan yang dia alami. Salah satunya karena malu dan masih ingin mempertahankan Rumah Tangganya.
“Ya kayaknya mungkin tingkat malu lebih tinggi daripada untuk melaporkan
kesakitan dirinya seperti contoh juga kekerasan terhadap anak. Nah,
makanya kita mensosialisasikan jangan malu untuk melaporkan kepada kita,” jelasnya.
Mega juga menjelaskan, pihaknya banyak mendapatkan laporan kekerasan perempuan dan anak, tapi bukan dari korbannya langsung.
Melainkan orang-orang terdekatnya. Bahkan, baru-baru ini mereka mendapat laporan kekerasan dari tetangga korban.
“Untuk itu, kami tidak pernah bosan mensosialisasikan jangan malu untuk melapor. Mungkin, sebelum ada sosialisasi ini, mereka lebih menutup diri. Jadi kami harap setelah adanya sosialisasi, kami harap para perempuan di luar sana tidak lagi takut melapor,” katanya.
Tak hanya kasus kekerasan terhadap perempuan, DP3A juga konsen pada menjaga anak dari tindak kekerasan fisik, seks dan mental.
“Kasus kekerasan anak yang kami terima itu macam-macam. Kebanyakan sih kalau untuk kekerasan mungkin sifatnya anaknya ditelantarkan atau dipukul orang tuanya,” jelasnya.
“Tapi yang membuat kami kaget, ada anak yang ditiduri orang tuanya, pamannya, bahkan ada yang sampai hamil,” sambungnya.
Anak dari korban kekerasan seksual yang hamil itu terus dipantau DP3A Kutim. Bayi itu dirawat dan dicukupkan gizinya.
“Ada juga anak usia 12 tahun dia sudah hamil, tapi janin tidak berkembang. Akhirnya melahirkan dan bayinya meninggal. Jadi di usia 12 tahun dia
sudah bisa mungkin karena haid pertama atau gimana terus hamil,” katanya.
Sementara itu, Kepala UPTD DP3A Kutim, Lisa Ariyani, S. Kep menjelaskan anak korban kekerasan seksual tak dilepas begitu saja. Pihaknya terus melakukan pendampingan terhadap para korban hingga traumanya hilang.
“Kami memberikan pendampingan mulai dari kesehatan hingga psikologisnya. Jadi kami bawa korban kekerasan seksual ini ke psikolog,” kata Lisa.
Dia juga menjelaskan, pihaknya selalu melakukan sosialisasi di kecamatan-kecamatan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
“Faktor kekerasan terhadap anak yang dilakukan keluarga dekat itu ada banyak. Salah satunya suasana lingkungan, ada kondisi orang tua terlalu banyak kerja, kemudian anak dititipkan. Nah kita enggak tahu yang di rumah ada siapa, ada bibinya atau pamannya,” katanya.
“Kedua kondis rumah yang sering ditinggalkan. Kadang anak kecil usia 6-7 tahun sering ditinggalkan. Mungkin ibunya bekerja ah bapaknya bekerja, kemudian anak ditinggal sama pamannya. Ya seperti itu termasuk salah satunya juga,” bebernya.
Lalu berikutnya, faktor pengawasan. Dia mengatakan kurangnya pengawasan terhadap anak menjadi celah terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Misalkan anak anak itu bebas memegang HP tanpa ada yang diblokir. Anak bisa mengakses situs yang seharusnya tidak dia lihat,” tuturnya.
Selain itu, tempat kekerasan terhadap anak bisa terjadi di rumah maupun di sekolah. “Dan kekerasan itu kebanyakan persentasenya lebih tinggi itu terjadinya dengan orang terdekat,” tandasnya. (adv)