OPINI: Oleh Tasran S.Pd., M.Pd.
Istilah “Monster Politik” mengacu pada figur atau tokoh politik yang dianggap sangat kontroversial dan berpotensi merusak sistem politik suiatau negara atau masyarakat. Figur atau tokoh politik ini sering dianggap tidak bermoral, korup, otoriter dan cenderung mengejar kepentingan pribadi atau kelompok kepentingan tertentu daripada kepentingan publik.
“Monster Politik” sering kali digunakan untuk menggambarkan tokoh politik yang sangat kuat dan tidak terkendali, yang memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mngendalikan negara atau masyarakat. Terkadang, istilah ini juga digunakan untuk merujuk pada tokoh politik yang dianggap tidak terkendeali dan bahkan berbahaya bagi stabilitas politik dan keamanan nasional.
Masih ingat dengan bapak pembangunan kita bukan?. Yang katanya sang maestro dalam pembangunan di Era Indonesia baru. Bahkan berhasil mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun, apakah dia satu “Monster Politik” yang sedang mengalami gangguan mental.!
Dalam pandangan teori kekuasaan mengatakan bahwa monster politik muncul karena dorongan kuat untuk menguasa dan mempertahankan kekuasaan. Tokoj yang memiliki kekuasaan yang besar cenderung ingin mempertahankan kekuasaannya dan melanggengkan pengaruhnya. Meskipun itu berarti melakukan tindakan yang tidak etis atau bahkan melanggar hukum bahkan menghancurkansistem politik yang berjalan dengan cara militeristik ataupun dengan soft power.
Berbeda halnya dengan pandangan secara psikologis yang menjelaskan bahwa monster politik muncul karena adanya gangguan psikologis pada diri tokoh politik tersebut, seperti narsisme, psikopat atau gangguan kepribadian lainnya. Apakah ini yangt terjadi dengan para pejabat kita saat ini? Who Knows?. Seakan mengalami gangguan mental (skizofernia),gangguan ini membuat tokoh politik tersebut sulit berempati dan tidak peduli dengan kesejahteraan orang lain, yang kemudian menimbulkan perilaku merugikan masyarakat.
Praktik politik yang digawani banyak monster predatoris yang haus akan kekuasaan dan mengalami gangguan mental tidak ubahnya seperti “binatang buas” yang memangsa rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan perlahan – lahan kehidupan demokrasi kita menjadi lemah. Pemilu yang dilaksanakan secara serentak di tahun 2024 sepertinya tidak akan melahirkan pemimpin yang pro terhadap rakyat, jika tidak diikat dengan regulasi yang kuat dan ketat untuk “menggunting” relasi pebisnis dan politisi dalam gelaran kontestasi.
Pemilu pada akhirnya hanya melahirkan monster politik yang mengerikan bagi kelangsungan hidup masyarakat banyak. Pemilu tidak lain da tidak bukan merupakan ajang unjuk gigi bagi para kaum pemodal. Pemilu yang dilaksanakan akhirnya hanya menciptakan kelompok pialang, bandar politik dan birokrat negara yang predatoris (Vedi R. Hadiz, 2005). Pemilu dari waktu ke waktu hanya mengubah sirkulasi elit. Elit lama tumbang, kemudian lahir sekelompok elit baru yang watak dan perangainya lebih mengerikan daripada monster politik di zaman orde baru.
Berburu Dalam Politik
Istilah “berburu” dalam politik merujuk pada upaya untuk mencari dukungan atau pemilih yang potensial untuk memenangkan suatu pemilihan atau mendapatkan keuntungan politik lainnya. Ini bisa dilakukan kandidat atau partai politik, atau oleh kelompok atau organisasi yang ingin mempengaruhi suatu pemilihan.
Dalam konteks pemilihan, berburu politik biasanya melibatkan atau mencari dukungan dari berbagai kelompok pemilih, termasuk kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, latar belakang etnis, agama dan orientasi seksual. Kandidat atau partai politik dapat menggunakan data demografis dan polling untuk menentukan kelompok mana yang paling cenderung mendukung mereka dan kemudian mengambil langkah – Langkah untuk memperoleh dukungan dari kelompok tersebut.
Salah satu metode yang umum digunakan dalam berburu politik adalah kampanye. Kandidat atau partai politik akan membuat janji – janji dan menyampaikan pesan mereka kepada pemilih yang potensial melalui iklan, pidato dan acara kampanye lainnya. Mereka dapat juga memperoleh dukungan dengan cara mendapatkan endorsement dari tokoh masyarakat atau public figur yang popular.
Selain itu, berburu politik juga melibatkan upaya untuk memobilisasi pemilih yang potensial. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi dan media sosial atau melalui kampanye dari pint uke pintu dan acara – acara pemilihan. Kelompok atau organisasi tertentu juga dapat melakukan kampanye untuk mempengaruhi pemilih dengan menyediakan plantfrom informasi tentang kandidat dan isu-isu politik tertentu.
Namun, walaupun berburu politik menjadi hal yang umum dilakukan dalam politik, namun sering kali juga menimbulkan perdebatan tentang apakah taktik dan Teknik yang digunakan di anggap etis atau tidak. Ada kemungkinan bahwa upaya berburu politik yang teralalu agresif atau manipulative dapat merugikan proses demokrasi yang mengakibtkan pemilih merasa tidak nyaman atau tidak terwakili.
Berburu Rente
Politik menjadi tempat berburu bagi para pebisnis dan politisi yang ambisius untuk melipatgandakan keuntungan. Pemburuan yang dimaksud bukanlah berburu ala jaman primitif, berburu rusa atau kijang untuk bertahan hidup. Perburuan dalam imajinasi politik, tidak hanya sebatas berburu jabatan tetapi juga berburu keuntungan dan nilai tawar dan pengaruh yang dimiliki. Barangkali istilah “berburu rente” tidak begitu asing terdengar. Para pejabat yang membisniskan jabatannya juga berburu rente (rent seeking behaviour). Apa itu rente?. Dalam kacamata Adam Smith didefinisikan sebagai kegiatan sewa menyewa yang mana keuntungan dapat diperoleh dari aktivitas jasa sewa. Sangat disayangkan, dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas rente mengalami pergeseran makna akibat perilaku tidak sehat dan penuh sakandal antara pengusaha dan penguasa.
Menurut Gordon Tullock dalam salah satu karyanya, The Welfare Cost Of Tariffs, Monoplies and Theft (1967) dinyatakan bahwa perburuan rente merupakan hubungan timbal balik berupa pemberian hak monopoli kepada pengusaha melalui peranan penting penguasa. Artinya pengusaha diberikan lisensi (khusus), hak monopoli dan segala macam fasilitas lainnya dari penguasa sehingga ruang kompetitif bagi pengusaha baru sulit untuk tumbuh dan berkembang.
Secara historis, dalam konteks Indonesia pemburuan rente memiliki sehjarah panjang dan mungkin juga sulit untuk hilang di Indonesia. Bermula pada tahun 1950 an, pemerintah di era Soekarno (orde lama) dan era reformasi, perilaku perburuan rente seperti tidak menemui “titik” utuk berhenti. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya prakter korupsi yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha. Program yang dicanangkan oleh Lembaga anti rasuah (KPK) atau eksistensi Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) juga tidak punya taring apa – apa untuk seminimal mungkin membuat mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi dengan cara pemburuan rente atau sejenisnya.