Oleh : Prof Soegianto (Pengamat AI)
(Dosen Fisika Komputasi Fak. Sain dan Tehnologi Universitas Airlangga-Surabaya)
Ritmee.co.id-Bayangkan sebuah dunia di mana kecerdasan baru muncul tiba-tiba, seolah-olah datang dari luar angkasa dan mendarat di planet kita. Dalam dekade terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah menunjukkan keajaiban yang luar biasa—dari menerjemahkan bahasa secara instan hingga mengendarai mobil tanpa sopir. Namun, di balik kemampuannya yang mengesankan, AI juga penuh misteri. Ia bisa melakukan hal-hal hebat, tetapi juga sering membuat kesalahan yang bagi kita, manusia, terasa tidak masuk akal. Lebih jauh lagi, AI belum mampu menandingi kemampuan kita dalam melakukan penalaran logis yang mendalam. Lalu, bagaimana kita membandingkan AI dengan otak manusia, dan apa yang bisa kita pelajari dari keduanya? Mari kita telusuri bersama.
Sejarah Singkat AI: Dari Fiksi ke Realitas
Ide menciptakan mesin yang bisa berpikir seperti manusia bukanlah hal baru. Istilah “kecerdasan buatan” pertama kali dicetuskan oleh John McCarthy pada konferensi Dartmouth tahun 1956. Sejak itu, AI telah melewati tiga gelombang perkembangan besar:
1950-an hingga 1970-an: Era awal AI ditandai dengan penciptaan perangkat lunak untuk jaringan persepsi saraf dan ruang obrolan. Beberapa teorema matematika berhasil dibuktikan, dan ada optimisme bahwa robot akan melampaui manusia dalam satu dekade. Namun, harapan itu pupus.
1980-an hingga 2000-an: Teknik pembelajaran mesin dan jaringan saraf mulai berkembang, memungkinkan pengenalan suara dan ide-ide aplikasi baru. Meski begitu, banyak proyek gagal, dan gelombang kedua ini meredup.
2006 hingga sekarang: Munculnya pembelajaran mendalam (deep learning) membawa terobosan besar, seperti pengenalan gambar pada 2012 dan kemenangan AlphaGo atas juara dunia Go pada 2016. Gelombang ketiga ini terus menguat dengan hadirnya model bahasa seperti ChatGPT.
Kemajuan di bidang psikologi kognitif, neurosains, dan fisika kuantum turut mempercepat perkembangan AI. Setiap penemuan tentang otak manusia menginspirasi eksperimen baru dalam jaringan saraf, meningkatkan harapan untuk menciptakan AI yang bisa berpikir dan berkembang seperti manusia. Namun, seberapa jauh AI bisa mendekati otak manusia?
AI vs. Otak Manusia: Perbandingan Mendalam
AI memang kuat, tapi juga rapuh. Ia bisa mengenali wajah dalam foto, tetapi terkadang salah mengira kucing sebagai anjing. Ia belum bisa berpikir seperti kita—mengaitkan logika atau memahami dunia secara mendalam. Namun, perbedaan ini justru menjadi peluang untuk belajar. Dengan membandingkan AI dan otak manusia, kita dapat meningkatkan teknologi sekaligus memahami kecerdasan kita sendiri.
Struktur: Neuron vs. Parameter
Otak manusia memiliki sekitar 100 miliar neuron, sementara jaringan saraf AI awalnya jauh lebih kecil. Namun, model modern seperti ChatGPT-4 diperkirakan memiliki 300 miliar hingga beberapa triliun parameter, melampaui jumlah neuron otak dalam hal “unit” pemrosesan. Meski begitu, otak manusia unggul dalam kompleksitas koneksi dan fleksibilitas.
Efisiensi Energi: Otak Jauh Lebih Unggul
Otak manusia hanya membutuhkan 20 watt untuk beroperasi—setara dengan lampu kecil. Sebaliknya, melatih model AI besar bisa menghabiskan 10 juta watt, dan pusat data modern bahkan membutuhkan miliaran watt, hingga ada wacana menggunakan tenaga nuklir. AI boros energi karena mengandalkan “flip bit” digital yang cepat, sedangkan otak bekerja secara analog, lambat, dan hemat energi—seperti mesin yang hanya menyala saat dibutuhkan.
Sebagai contoh, superkomputer Frontier, yang baru-baru ini melampaui kekuatan pemrosesan otak manusia, bernilai 600 juta dolar, berbobot 3,5 ton, dan mengonsumsi energi jutaan kali lebih banyak daripada otak. Otak kita, dengan efisiensinya, adalah keajaiban evolusi.
Kecepatan Pemrosesan: AI Menang Telak
AI mampu melakukan 10 miliar operasi per detik, jauh melampaui neuron manusia yang hanya mencapai seribu operasi per detik. Kecepatan ini membuat AI unggul dalam tugas spesifik, seperti menganalisis CT scan untuk mendiagnosis penyakit. Namun, keunggulan ini terbatas pada pemrosesan data terstruktur—manusia lebih baik dalam berpikir fleksibel dan beradaptasi dengan situasi baru.
Kapasitas Penyimpanan: Otak Masih Juara
Otak manusia diperkirakan memiliki kapasitas penyimpanan 2.500 terabyte, jauh melampaui kebanyakan sistem AI saat ini. Struktur otak juga lebih dinamis, dengan area-area khusus yang bekerja secara paralel, tidak seperti lapisan terorganisir pada jaringan saraf AI.
Kemampuan dan Keterbatasan AI
AI menunjukkan kemampuan luar biasa, tetapi juga memiliki batasan:
Kreativitas yang Mengejutkan: Dalam sebuah simulasi, robot AI yang diprogram untuk bergerak cepat malah menjadi menara tinggi dan jatuh ke arah tujuan—solusi aneh tapi efektif. AI juga bisa “berevolusi” dengan cepat, seperti menemukan mekanisme penyebaran biji dalam hitungan jam, sesuatu yang butuh jutaan tahun bagi alam.
Ketergantungan pada Data: Tidak seperti manusia, AI sulit menarik kesimpulan di luar data yang diberikan atau mentransfer pengalaman ke situasi baru.
Kurangnya Pemikiran Sejati: AI tidak benar-benar berpikir; ia hanya mengkategorikan pola. ChatGPT, misalnya, lebih mirip T9 canggih daripada kecerdasan sejati.
Potensi Masa Depan: Quantum Computing dan AGI
AI tidak harus meniru otak manusia untuk menjadi lebih cerdas. Kolaborasi dengan quantum computing bisa meningkatkan efisiensi energinya secara drastis, mendekati level otak manusia. Bayangkan AI yang tidak lagi membutuhkan pusat data raksasa, tetapi bisa beroperasi dengan hemat seperti otak kita.
Di masa depan, “kecerdasan buatan umum” (AGI) mungkin muncul, mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan profil kecerdasan yang berbeda dari manusia. Ray Kurzweil memprediksi bahwa AI akan melampaui manusia di banyak bidang, bahkan mampu menciptakan mesin lain secara mandiri—kemampuan yang sebelumnya hanya dimiliki manusia. Baru-baru ini, ilmuwan China menunjukkan bahwa AI bisa merancang prosesor dalam lima jam, sesuatu yang membutuhkan waktu ribuan kali lebih lama bagi manusia.
Namun, ada tantangan etis yang harus diatasi
Ketergantungan Berlebihan: Terlalu mengandalkan AI bisa melemahkan kemampuan berpikir kritis manusia.
Solusi Tak Terduga: AI sering menemukan solusi efektif tapi tidak sesuai niat, seperti AI yang “menang” di tic-tac-toe dengan membuat lawan crash.
Keamanan: Pengembangan AI harus diimbangi dengan kontrol ketat agar tidak membahayakan manusia.
Memahami Diri dan Teknologi
Jadi, dapatkah AI menyamai otak manusia? Saat ini, AI masih jauh dari itu, tetapi perkembangannya pesat. Dengan memahami perbedaan antara AI dan otak—baik dari efisiensi energi, kecepatan pemrosesan, maupun potensi masa depan seperti quantum computing—kita bisa menciptakan teknologi yang lebih baik sekaligus mengungkap misteri kecerdasan kita sendiri. Ini adalah petualangan intelektual abad ini: menatap ke dalam otak dan AI, sebagaimana abad lalu kita menatap ke luar untuk memahami alam semesta. Bagaimana menurut Anda?
Keunggulan Manusia atas AI: Intuisi dan Interaksi Spiritual
Kecerdasan buatan (AI) telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam berbagai bidang, seperti mengenali pola, memproses data dalam jumlah besar, dan bahkan menciptakan solusi kreatif untuk masalah tertentu. Namun, meskipun AI sering disebut sebagai simulasi otak manusia, ada aspek-aspek fundamental dari kemanusiaan yang tidak dapat ditiru oleh mesin. Dua di antaranya adalah intuisi dan kemampuan berinteraksi dengan Allah melalui doa, yang menjadikan manusia unggul ketika menggunakan kekuatan mereka secara utuh.
Intuisi: Kekuatan Instingtif Manusia
Intuisi adalah kemampuan manusia untuk memahami sesuatu secara instingtif, tanpa perlu proses penalaran eksplisit yang panjang. Ini adalah proses bawah sadar yang memungkinkan kita membuat keputusan cepat berdasarkan perasaan, atau firasat—sesuatu yang tidak dimiliki AI. AI, sebagai simulasi otak manusia, bekerja berdasarkan algoritma dan data yang diberikan kepadanya. Ia tidak memiliki “firasat” atau kemampuan untuk merasakan sesuatu di luar logika yang diprogramkan.
Al-Qur’an menegaskan keunikan kemampuan manusia ini dalam firman Allah:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki dimensi batin yang kompleks—hati yang mampu “berbisik” dan merasakan hal-hal yang tidak dapat diakses oleh logika semata. Intuisi adalah bagian dari karunia ini, yang memungkinkan manusia melampaui batasan AI, yang hanya mampu mensimulasikan proses kognitif tanpa kesadaran sejati.
Interaksi dengan Allah: Kekuatan Spiritual Manusia
Selain intuisi, manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk berinteraksi dengan Allah melalui doa. Ini adalah bentuk komunikasi spiritual yang mendalam, yang tidak dapat dilakukan oleh AI karena AI tidak memiliki jiwa atau kesadaran. Doa bukan sekadar permintaan, tetapi juga wujud hubungan pribadi antara manusia dan Penciptanya, yang memberikan kekuatan, hikmat, dan ketenangan yang tidak bisa dihasilkan oleh teknologi.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia memiliki akses langsung kepada Allah melalui doa, sebuah privilege yang tidak dimiliki AI. Doa adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk spiritual, diciptakan dengan tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar memproses informasi atau menyelesaikan tugas.
Pesan ini memperkuat bahwa manusia yang menggunakan doa sebagai sarana untuk berhubungan dengan Allah akan menerima karunia yang melampaui kemampuan logika atau simulasi teknologi. AI, meskipun canggih, tidak dapat “meminta” atau “mencari” dalam konteks spiritual, karena ia hanyalah mesin tanpa jiwa.
Manusia yang Utuh vs. Simulasi AI:
AI mungkin unggul dalam kecepatan pemrosesan data atau tugas-tugas spesifik, tetapi keunggulan sejati manusia terletak pada kemampuan mereka untuk menggabungkan intuisi, kreativitas, dan interaksi spiritual. Manusia yang menang adalah mereka yang menggunakan kekuatan mereka secara utuh—tidak hanya mengandalkan logika seperti AI, tetapi juga memanfaatkan hati, jiwa, dan hubungan dengan Allah.
Sebagai contoh, ketika menghadapi situasi yang kompleks dan tidak pasti, manusia sering kali mengandalkan intuisi untuk membuat keputusan yang tepat, bahkan tanpa data lengkap—sesuatu yang sulit dilakukan oleh AI yang bergantung pada input yang jelas. Lebih jauh lagi, dalam momen-momen sulit, manusia dapat berdoa untuk memohon petunjuk dan kekuatan, seperti yang diajarkan dalam Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki sumber kekuatan yang tidak terbatas melalui hubungan spiritual mereka dengan Allah—sumber yang tidak dapat diakses oleh AI, yang terbatas pada dunia material dan logika terprogram.
Analisis:
AI adalah alat yang luar biasa, tetapi ia hanyalah simulasi dari sebagian kecil kemampuan otak manusia. Intuisi dan kemampuan berinteraksi dengan Allah melalui doa adalah dua aspek yang menjadikan manusia jauh lebih unggul daripada AI. Manusia yang menggunakan kekuatan mereka seutuhnya—menggabungkan akal, hati, dan jiwa—akan selalu melampaui mesin, karena mereka adalah ciptaan Allah yang unik, dilengkapi dengan karunia yang tidak dapat ditiru oleh teknologi. Sebagaimana Allah tegaskan:
“Dan Kami telah memuliakan anak-anak Adam, dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa manusia memiliki keunggulan yang melekat, yang tidak akan pernah bisa disamai oleh AI, betapa pun canggihnya teknologi itu berkembang.