LUWU— Ramadhana dan Ramadhani, siswi kembar yang menimba ilmu di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 18 Kabupaten Luwu ini mempunyai tekad yang besar untuk menyelesaikan pendidikannya.
Ramadhana bersama saudari kembarnya berbeda jauh dengan remaja SMU pada umumnya. Saudari kembar yang terlahir dari keluarga kurang mampu itu sehari-harinya harus bangun lebih awal dan bersiap ke sekolah dengan berjalan kaki dan menempuh jarak 20 kilometer.
Siswi yang kini duduk di kelas XII merupakan seorang piatu, ibunya meninggal dunia sejak mereka duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), dan untuk sampai ke sekolahnya, kedua siswi SMU 18 Luwu itu berjalan kaki melewati perkebunan milik warga dan jalan yang berbatu, tak ada kata lelah apalagi mengeluh, yang mereka fikirkan hanya sampai di sekolah tepat waktu, belajar, kemudian pulang ke rumah untuk membantu ayahnya yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani.
Jika remaja seusianya asik bermain gadget di waktu senggang, tidak demikian dengan si kembar Ramadhana dan Ramadhani, siswi yang tinggal di Borong, Dusun Kailim Desa Kaili, Kecamatan Suli Barat, Kabupaten Luwu itu memilih menghabiskan waktu senggangnya dengan belajar dan sesekali menjadi buruh tani untuk membantu perekonomian keluarganya.
“Kadang mereka mengumpulkan daun cengkeh yang sudah kering untuk mereka jual,” kata Caska Patarani salah seorang tetangga si kembar siswi SMU 18 Luwu, Rabu (07/09/2022).
“Ada rasa haru setiap kali melihat mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan, sesekali si kembar Ramadhana dan Ramadhani ini tertawa bersama, keterbatasan ekonomi tak membuatnya bermalas-malasan agar bolos sekolah,” tambahnya.
Fadly Asmaun, salah seorang guru SMU 18 Luwu menceritakan kedua siswi kembar ini memang setiap hari berangkat dan pulang sekolah berjalan kaki lebih 10 kilometer menuju ke sekolah begitu pula sebaliknya ketika jam pelajaran telah usai.
“Pihak sekolah pernah menawarkan kepada kedua siswi tersebut agar tinggal di sekolah saja karena rumahnya jauh, namun ditolak dengan alasan ingin mereka ingin membantu orang tuanya,” ungkapnya.
“Pernah pihak sekolah ingin memberikan motor untuk meraka pakai ke sekolah dan mereka juga menolak dengan alasan tidak ingin memberatkan orang lain serta tak mampu membeli BBM untuk kendaraan. Bahkan ketika masa pandemi covid dengan sistem pembelajaran melalui daring, sisiwi kembar ini terpaksa belajar secara lueing karena tak memiliki HP Android,” tambah Fadly. (fit)