HeadlineOpini

OPINI : WABAH DAN KEBEBALAN KITA (1)

2190
×

OPINI : WABAH DAN KEBEBALAN KITA (1)

Sebarkan artikel ini
Meme Polisi India di Sulsel

BEBERAPA waktu yang lalu beredar luas meme tentang inspektur Vijay yang datang ke Makassar untuk mengawal imbauan pemerintah agar warga sebisa mungkin tinggal di rumah jika tak ada kepentingan mendesak sekaitan dengan wabah yang sedang merebak.

Tapi, dalam meme itu, sang polisi India hanya bertahan 3 hari di Makassar lantas kembali ke negerinya karena tak tahan dengan perilaku bebal (baca: bebatutalinga) sebagian warga Makassar.

Padahal, polisi India di negerinya terkenal sangat sangar mendisiplinkan warga yang berkeliaran. Meme itu adalah gambaran sekaligus sindiran akan kebebalan sebagian warga Makassar. Namun hal itu tak hanya terjadi di Makassar.

Nyaris di seluruh negeri, pemandangan serupa bisa terlihat. Baik itu di kota besar, terlebih di kota kecil–yang merasa virus masih jauh menjangkau mereka. Imbauan untuk menjalankan protokler keselamatan sederhana hanya seakan angin lalu.

Bukan sekadar imbauan agar tak berpergian jika tak harus, tak berkumpul, dan menjaga jarak yang tak diacuhkan. Orang-orang bebal ini juga cenderung tak tahu diri. Ada yang datang dari zona merah tapi tak melaporkan diri pada petugas setempat.

Ada yang didatangi untuk didata malah galak ke petugas. Ada yang ODP tapi tetap berkeliaran. Bahkan, ada pula yang sakit tapi tak jujur dengan riwayat perjalanannya. Ini yang telah menyebabkan petaka bagi orang lain.

Dari keterangan yang ada, beberapa petugas kesehatan terpapar Covid-19 ini dari pasien semacam ini. Mereka datang memeriksakan diri tapi tak jujur bahwa mereka pernah ke zona merah.

Belakangan, diketahui ternyata mereka positif membawa virus ini. Apa lacur, perawat dan dokter yang tak selalu memakai APD karena ketersediaannya yang terbatas, telah terlanjur ikut terpapar.

Saya tak paham mengapa sebagian kita begitu bebal dan bersikap menyebalkan di tengah wabah ini. Barangkali karena pandemi semacam ini memang baru pertama kali terjadi di masa hidup kita.

Pandemi terakhir yang berdampak global, yakni Virus Influenza atau disebut juga Flu Spanyol, terjadi lebih dari seabad lalu. Karena itu, meski menginfeksi sekitar 500 juta orang dan menewaskan sekira 10% diantaranya, pandemi itu tak membekas pada psikis kita.

Pun, beberapa wabah yang terjadi di beberapa tahun belakangan seperti SARS bisa diatasi dengan cepat dan tak berdampak luas, terutama bagi kita di Indonesia.

Namun, virus corona versi 2019 ini berbeda. Daya kejutnya membuat dunia terperangah. Penyebarannya yang cepat dan massif telah menginfeksi nyaris ke sebagian besar belahan dunia.

Secara fisik, virus ini telah memapar lebih dari 2 juta orang dan menewaskan sekira 140 ribuan orang.

Angka – angka itu jelas masih akan bertambah. Untungnya, kemajuan ilmu pengetahuan telah memberi kita pemahaman tentang karakteristik umum dari virus ini sehingga setiap orang bisa melakukan upaya pencegahan dasar.

Minimal itu akan memperlambat laju penyebaran virus dan memberi waktu sebanyak mungkin kepada para ahli untuk menemukan obat dan vaksin untuk mengatasi pandemi ini secara permanen.

Itulah sebabnya saya tak habis pikir mengapa sebagian kita masih bebal dan tak hirau pada imbauan untuk kemaslahatan bersama itu. Sementara sebagian orang seperti petugas kesehatan, relawan, dan keamanan mesti berjibaku di garis depan untuk mengatasi bencana ini.

Dan mereka akan terus di sana selama sebagian kita yang bebal ini tak sadar diri. Di Sulawesi Barat, seorang kepala desa meminta dua orang putrinya yang datang dari Makassar untuk mengisolasi diri sementara di sebuah rumah kebun.

Kedua putrinya itu, dengan kesadaran diri bahwa mereka datang dari salah satu daerah epicentrum penyebaran wabah, bersedia melakukan swakarantina meski tak menunjukkan gejala apa pun.

Beberapa minggu lalu, di Belopa, seorang teman saya yang kebetulan petugas medis, meminta kesediaan suaminya yang baru pulang berlayar untuk mengarantina diri di sebuah rumah terpisah. Mereka sepakat melakukan hal itu walau rindu karena lama tak bertemu, meski suaminya tak bergejala apa pun, dan wabah juga belum semencekam sekarang.

Orang-orang dengan kesadaran diri semacam itu memberikan kontribusi yang besar bagi kemanusiaan, bagi upaya mengatasi pandemi ini. Sebaliknya, orang-orang bebal akan memperpanjang dan memperburuk situasi sekarang ini.

Sialnya, yang bebal itu datang nyaris dari semua golongan. Dari pejabat, IRT, mahasiswa, anggota dewan, mau pun pekerja kelas menengah. Ada rombongan anggota dewan yang menolak untuk diperiksa meski baru tiba dari luar daerah, ada gerombolan mahasiswa yang memenuhi warung kopi untuk bermain game, ada sekumpulan kelas menengah ngehe’ yang dengan seringai bersepeda santai lantas berkerumun di tempat umum, ada sekumpulan pewarta yang meliput konpers tentang wabah tanpa menjaga jarak meski mereka paham betul bahwa, “tak ada berita seharga nyawa”.

Mungkin kita memang tak guna sekadar diimbau. Barangkali kita memang lebih suka dilecut seperti kuda. Hanya patuh bila akan diberi sangsi. Itulah sebabnya beberapa kepala daerah mengajukan permintaan agar wilayah mereka diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Wilayah-wilayah itu seharusnya tak perlu diberi pembatasan yang ketat–yang akan membuat hidup kita menjadi makin rumit–bila saja sejak awal kita semua lebih solider.

Tapi, ya sudahlah. Mari kita tetap lebih waskita dari hari-hari biasanya. Menjaga diri, keluarga, dan orang lain. Berharap agar wabah ini berakhir segera. Berdoa agar kita, keluarga, dan mereka yang terpaksa tetap harus bekerja di luar untuk mencari nafkah, serta mereka yang mesti berdiri di garis depan mengatasi wabah, selalu sehat semua. Termasuk untuk mereka yang masih saja bebal. (*)

Ballodi Lawwing
Penulis Lepas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *