OLEH: Ardiansyah, S.Pd (Pegiat Literasi Palopo)
SAYA tidak akan menjelaskan kapitalisme dari sudut pandang teori usang karena para pencetus teori masa lalu telah menjelaskan bahwa kapitalisme adalah persoalan ekonomi dan sistem pengelolaannya.
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Seiring perkembangan zaman, kapitalisme terus berkembang menjadi berbagai bentuk. Kapitalisme bukan lagi hanya tentang sistem ekonomi.
Lebih dalam, kapitalisme adalah sebuah budaya yang menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan, cara hidup, hubungan kepada orang lain, cinta yang berubah menjadi benci, atau keinginan yang berubah menjadi mimpi.
Ia adalah sebuah cerita tentang penemuan, kreativitas, penghancuran, eksploitasi, dominasi, pertumpahan darah dan teror. Kapitalisme, tanpa disadari, membuat kita percaya terhadap pertumbuhan ekonomi/produksi dan konsumsi yang dikuasai oleh hanya segelintir orang.
Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan yang mengakar: yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Kaum kaya akan mempunyai privilege terhadap segala hal dan sebaliknya bagi kaum miskin.
Saya rasa kita tidak perlu berdebat mengenai ukuran kekayaan dan kemiskinan, yang jelas bahwa mereka benar-benar ada. Coba lihat sekelilingmu! Kaum kaya akan duduk di singgasananya dengan tenang sedangkan kaum miskin akan tertatih dan terseok-seok di jalanan.
Jangankan mengakses pendidikan yang konon gratis itu, bisa makan saja sudah cukup bagi mereka. Roda ini akan terus berputar melampaui batas sebab dalam kapitalisme, barang dan jasa akan terus diproduksi dan ditawarkan secara masif.
Konsumsi akan terus ditingkatkan melalui iklan, film, gaya hidup dan pendidikan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Orang-orang akan bermimpi mempunyai mobil mewah, hidup mapan dan dicintai banyak orang, sebuah ilusi ideal.
Kapitalisme akan menentukan identitas seorang manusia. Lebih jauh lagi, sistem produksi dan konsumsi tersebut bergantung pada energi murah yang tak terbarukan. Cadangan energi akan terus menipis hingga habis. Akhirnya, jika sistem kapitalisme ini gagal, kita akan ada di ambang kepunahan dan ini harus dihentikan.
Menghancurkan kapitalisme dengan mengambil alih sebuah sistem besar memang terdengar sangat utopis. Jika semua bank, pemerintahan, para kapitalis dan sejenisnya hilang dalam semalam, orang-orang akan menciptakan kapitalisme baru di keesokan harinya.
Ini yang kita pelajari dari hasil revolusi di berbagai belahan dunia. Namun, kapitalisme bukanlah sebuah monolit atau kesatuan tunggal yang terbentuk secara alami dan abadi. Kapitalisme dibentuk oleh manusia dan manusia pula yang dapat merubah kapitalisme tersebut.
Sebagai gambaran, revolusi mesir yang terjadi pada tahun 2011 untuk menumbangkan rezim presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, melumpuhkan sistem ekonomi negara secara total. Demonstrasi yang berpusat di Tahrir Square menciptakan sebuah sistem ekonomi kolektif yang jauh dari asas-asas kapitalisme.
Secara kolektif masyarakat menyediakan kebutuhan dasar demonstran selama 18 hari hingga presiden Hosni Mubarak menyatakan mundur dari jabatannya. Ini membuktikan bahwa, sebuah gaya hidup baru sangatlah mungkin untuk diciptakan melalui perang social terhadap gaya hidup normal yang jauh dari kata mensejahterakan.
Gaya hidup baru ini adalah sistem ekonomi kolektif untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar setiap manusia tanpa dominasi, tanpa menimbang untung rugi, bahwa kita adalah sesama manusia. Kita dengan nilai yang sama sebagai seorang manusia dengan manusia lain, seharusnya mempunyai hak yang sama.
(*)