OPINI: Oleh Ivan Palimpuri, Mahasiswa IAIN Palopo.
Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan serentak bersama-sama dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Pimpinan Daerah pada bulan Februari 2024 mendatang, sebaiknya dipersiapkan dengan matang, terutama perihal calon pemimpin masa depan negara Indonesia yang visoner.
Pemilu serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Bukan hanya sekedar menjalankan mandat reformasi tahun 1998, tapi kita harus dapat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang matang
Agenda pesta demokrasi setiap 5 tahun sekali ini, akan menjadi sebuah momen bersejarah yang menentukan nasib Bangsa Indonesia kedepan.
Pemimpin yang dibutuhkan oleh negara Indonesia bukan hanya seorang pemimpin yang kuat dan berkarisma, tetapi juga seorang visioner, seorang pemimpin yang memiliki visi misi kedepan, yang mampu melihat dan mampu mengangkat martabat Indonesia di mata masyarakatnya dan di mata masyarakat dunia.
Berangkat dari demokrasi politik kita hari ini yang semakin hari semakin dekat. Para petualang politik tengah bersiap menyusun strategis dan sikap politik yang akan di jalankan untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas sebagai peserta pemilu. Perilaku melirik kanan, melirik kiri, pasang mata dan telinga serta negosiasi antar figur politik merupakan kegiatan konsolidasi relevan dalam mendapatkan dukungan.
Dahulu, kita memiliki generasi pemimpin yang filosof dan pemikir seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka yang ratusan halaman tulisan mereka lahir berisi gagasan cemerlang untuk masa depan bangsa. saya khawatir kini kita hanya memiiki generasi pemimpin yang piawai menoleh citra dengan membuat konten di media sosial yang kaya sensasi namun dangkal tanpa isi.
Pada tahun 2024 kita akan hanya melihat pemilu yang sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya pemilu yang hanya berisi sirkulasi kekuasan di antara elite yang tidak ada sangkut pautnya dengan amanat penderitaan rakyat, pemilu yang hanya menjadi penanda berlangsungnya demokrasi prosedural namun masih jauh dari demokrasi substansial yang ditandai oleh pemenuhan hak warga.
Juga pemilu yang hanya berisi perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan bukan festival gagasan untuk memperjuangkan nasib bangsa.
Lalu, untuk apa kita melakukan pemilu yang sangat mahal itu? Selama ritual yang kita lakukan masih sama, selama itu pula pemilu hanya menjadi ritual reproduksi oligarki predatoris dan peradaban politik kita akan diliputi kegelapan.
Pemilu dari ke waktu semestinya merekam evolusi pemikiran bangsa juga evolusi ide dan gagasan dalam ikhtiar untuk memenuhi janji kemerdekaan melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum.
Semestinya mampu merefleksikan semakin matangnya peradaban politik kita dalam mewujudkan cita-cita luhur melalui satu upaya kolektif yang melibatkan segenap anak bangsa, bukan hanya kasak-kusuk elite di ruang gelap demokrasi.
Politik bukan semata merebut kekuasaan sekaligus mempertahankannya politik bukan sekedar menciptakan kekuatan sekaligus merumuskan sejumlah agenda yang prospektif bagi warga kehidupan negara lebih dari itu politik adalah dunia di mana komitmen di tancapkan semacam kesanggupan yang tulus dalam memperjuangkan kepentingan publik
Bung Hatta mengajarkan prinsip politik yang berbasis moralitas
Salah satu contoh yang Indonesia pernah punya adalah Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno. Beliau adalah visioner yang betul mampu mengangkat bangsa Indonesia, dari bangsa yang terjajah, menjadi merdeka dan bergengsi.
Selain itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus memiliki sebuah pikiran optimis bahwa partai politik (parpol) mementingkan kepentingan bangsa dan negara, bukan hanya sekedar cuma merebut kekuasaan. Parpol sebaiknya jangan hanya berpikir, “saya dapat apa?”, tetapi harus juga menghayati bahwa politik itu merupakan sebuah panggilan panggilan untuk menjadi pelayan publik.
Parpol kerap kali didirikan oleh para elit politik bukan karena adanya ideologi yang jelas sebagai roh perjuangan partai, tetapi berorientasi pada pragmatism dan transaksional kekuasaan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa keadaban politk tidak memiliki ideologi yang menjadi acuan dalam penataan parpol agar memiliki karakter melayani rakyatnya. Orientasi parpol terbatas hanya sekedar merebut jabatan kekuasaan tanpa penanaman nilai-nilai ideologi.
Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila mengandung beberapa nilai moral yang bersumber dari nilai Pancasila, berlandaskan pada sila keempat Pancasila. Menurut Ensiklopedia Indonesia, demokrasi Pancasila adalah penyelesaian masalah nasional melalui permusyawaratan untuk mencapai suatu mufakat Ada tiga karakter utama demokrasi Pancasila, yaitu kerakyatan, permusyawaratan, dan hikmat kebijaksanaan. Pada prinsipnya, demokrasi Pancasila memberikan suatu posisi yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia dengan mengambil keputusan secara musyawarah dan mengutamakan persatuan nasional, kekeluargaan, tujuan dan cita-cita nasional.
Parpol di Indonesia dapat terjebak untuk memenangkan nilai ekonomi semata jika pendiriannya dan perjalanannya tidak diisi dengan ideologi Pancasila, sebagai dasar hidup bangsa dan negara Indonesia. Posisi parpol hanya sekedar menjadi industry jasa untuk merebut kekuasaan, sehingga akan menyebabkan konflik internal parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan akses sering terjadi.
Nilai politik sebagai perjuangan untuk mencapai kesejahteraan dan kepentingan bersama dikalahkan karena nilai ekonomi dan politik pragmatism. Kekuasaan yang semestinya menjadi alat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, nyatanya diselewengkan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Kekuasaan menjadi senjata para elit untuk lupa terhadap kewajibannya kepada masyarakat.
Politik harus memilki dua dimensi dimensi manusiawi dan ilahi. Politik itu merupakan panggilan etis untuk mewujudkan cita-cita dari Pembukaan UUD 1945. Partai politik seharusnya mampu menciptakan politik keadaban dan menjadi panglima dalam melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Maka, marilah, kita, rakyat Indonesia, harus menegaskan kembali, kepada parpol dan elit politik, apa makna berpolitik dan kekuasaan. Politik adalah sarana untuk menjadi pelayan publik, memperjuangkan kepentingan perjuangan semesta, dan membangun Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera.
Maka rakyat Indonesia harus pintar memilih partai politik dan calon pemimpinnya, apakah partai tersebut memiliki ideologi Pancasila dan menghidupkan nilai-nilai demokrasi Pancasila, dan apakah calon pemimpin yang akan dipilihnya, merupakan calon pemimpin yang visioner, mampu melihat dan merencanakan masa depan, serta menaikkan harkat dan martabat Indonesia di mata masyarakatnya dan di mata dunia.