Kisah Kedatuan Luwu Menerima Islam

OLEH : Musly Anwar (Budayawan Tana Luwu)

MASUKNYA Islam Ke Tana Luwu dengan penuh Kedamaian. Sesuai dengan prinsip utama dalam Islam yang “rahmatan lil ’alamin”. kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat Luwu selaras dengan nilai-nilai Kearifan Lokal yang senantiasa mewujudkan rasa kedamaian, rahmat bagi manusia dan alam semesta. Islam yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Bacaan Lainnya

Islam mewajibkan umatnya untuk menghargai manusia dan kemanusiaan. Sehingga Hadirnya di Tana Luwu bukan melalui peperangan dan tidak ada unsur paksaan. Perbedaan yang nyata terutama pada penyebutan Tuhan, dimana saat itu Masyarakat Luwu menyebut “Lamoa” dan “Dewata SewwaE” sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Ajaran Islam dibawah oleh tiga Orang Mubaligh Asal Minangkabau yakni, Datuk Abdul Makmur (Khatib Tunggal) yang bergelar Datok ri Bandang, Datuk Sulaiman (Khatib Sulung) yang bergelar Datok Pattimang, dan Datuk Abdul Jawad (khatib Bungsu) Datuk ri Tiro. Mereka berlayar menuju Tana Luwu dengan mengunakan Perahu Besar, mirip Cankang kerang kima.

Sebelum berlabuh di pusat ibukota Kedatuan Luwu Pattimang, Mereka pertama kali pijakkan kaki di Tana Luwu tepatnya di Lapandoso Wilayah kekuasaan Maddika Bua. Kehadiran tiga Mubaligh tersebut membuat Maddika Bua terkagum-kagum. Wajah yang Bersih Cerah dengan Pakaian lazimnya Mubaligh Minangkabau, serta melangkah dengan tenang sembari senyum dengan tutur sapa yang lembut.

Akhirnya setelah Maddika Bua bersama Perangkat adatnya benar-benar memahami dan yakin tentang Ajaran Islam, maka ia bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat , dengan syarat tidak diketahui oleh Datu Luwu La Patiware. Sebab menjadi durhaka jika seorang Maddika Bua mendahului Datu Luwu. Peristiwa ini kemudian menjadi sebab musabab Maddika Bua digelar “Tandipau”, Yang berarti tidak diucapkan dan menjadi rahasia.

Setelah memeluk ajaran Islam, Maddika Bua kemudian mendampingi dan pemandu para Mubaligh berlayar menuju pusat Kedatuan Luwu. Setelah Perahu mereka bersandar dipelabuhan Pattimang, Mereka kemudian bergegas menuju istana untuk menemui Datu Luwu La Patiware (Patiarase). Tidak perlu menunggu terlalu lama, Khatib Sulaiman dipersilahkan untuk menghadap raja. Di dalam istana, Datu La Pattiware menanti kedatangan rombongan itu dengan sedikit gelisah. Hatinya terus bertanya-tanya, siapa gerangan yang akan menghadapnya. Apa pula hubungan ketiga orang itu dengan Maddika Bua. Di tengah kegelisahannya, seorang petugas istana menghadap dan melaporkan kedatangan rombongan Tiga Mubaligh dari Sumatera yang diantar langsung oleh Maddika Bua.

Di hadapan Datu Luwu, mereka memberikan hormat dengan takzim. Datu La Pattiware yang dikenal sebagai raja yang bijaksana, dengan suara yang lembut namun penuh wibawa mempersilahkan tamunya untuk duduk. Setelah mendengarkan maksud dan tujuan mereka, Datu Patiarase menatap ketiganya dengan mimik serius. Melihat wajah ketiga tamunya, semakin banyak pertanyaan yang menggelayut di benak Datu La Patiware. Meski demikian, seperti ada getaran halus yang merambati kesadarannya, Membuat hatinya sejuk dan damai. Ia seakan menemukan oase di tengah padang gersang. Setelah berulang dialog panjang selama berhari-hari dan rasa ingin tahu Datu Luwu tentang Islam, Ia akhirnya tertarik dengan agama yang diperkenalkan oleh tamunya tersebut. Apalagi, konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep ketuhanan masyarakat Luwu. Meski demikian, ia tidak begitu saja mempercayainya.

Datu Luwu pun bermaksud menguji kemampuan Datuk Sulaiman. Ia menganggap bahwa orang yang membawa sebuah agama besar, pastilah juga memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi. Bukan hanya menguasai agama yang dibawanya, tapi ia harus memiliki kekuatan untuk menyebarkan agama itu. Dengan tutur kata yang sangat sopan, Datu La Pattiware kemudian mengemukakan maksudnya untuk menguji kemampuan yang dimiliki. Datok Sulaiman menyanggupi permintaan Datu La Pattiware. Dalam pertarungan ilmu ini telah disepakati bahwa apa pun yang dilakukan oleh Datu, maka akan dilakukan pula oleh Datuk Sulaiman dan begitu pun sebaliknya. Jika Datuk Sulaiman sanggup mengikuti semua yang dilakukan oleh Datu Luwu, maka Datu Luwu akan memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai Agama yang resmi di Kedatuan Luwu. Namun, jika ia tidak sanggup, maka mereka bertiga segera meninggalkan negeri Luwu.

Sesuai dengan kesepakatan, tibalah saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan. Masyarakat Luwu yang telah mengetahui tentang adanya pertarungan kesaktian tersebut berbondong-bondong datang ke lapangan depan Istana LangkanaE untuk menyaksikan pertarungan.Berbagai peralatan untuk pertarungan juga telah disiapkan. Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai kesepakatan, La Patiware yang lebih dahulu maju.

Dengan tenang ia mengambil sebutir demi sebutir telur ayam dan disusunnya satu demi satu di atas telapak tangan kanannya. Sedang tangan kirinya terus menaikkan telur-telur yang disediakan. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Datu La Patiware terus menambah telur hingga telur yang disediakan habis. Jumlah telur yang tersusun tersebut berjumlah 300 butir, sehingga telur yang berada di tangan La Pattiware tingginya telah melampaui pohon kelapa. Melihat kejadian itu, rakyat Luwu yang menonton pertarungan itu bersorak menyaksikan kekuatan raja mereka. Suara-suara kekaguman berderai dari setiap bibir rakyat Luwu.

Datu La Patiware bisa merasakan kekuatan besar yang dimiliki oleh pembawa agama Islam itu. Namun, ia memang hanya ingin menguji keyakinannya. Melihat kemampuan yang dikeluarkan oleh Datu Luwu, Datuk Sulaiman juga melakukan hal yang serupa. Dengan membaca basmalah, ia mulai mengambil telur satu persatu dan disusun di atas tangan kirinya.

Tak begitu lama telur yang telah disediakan itu pun habis. Kejadian ini begitu mencengangkan seluruh rakyat Luwu yang menonton. Mereka seolah tidak menyangka Datuk Sulaiman dapat melakukan hal yang sama. Bahkan Datuk Sulaiman menarik beberapa butir telur di antara susunan telur tersebut tanpa sedikitpun telur-telur itu terjatuh. Telur-telur tersebut seolah digantung dengan benang yang tak kelihatan. Karena mampu melakukan apa yang dilakukan oleh raja Luwu, maka pertarungan kembali diteruskan. Kali ini kendi tanah liat tempat air minum berisi air.

La Patiware mengangguk sejenak dan perlahan ia mulai melakukan adu ilmu tersebut dan berhasil. Kendi yang berisi air tadi dibalik, dan perlahan ia melepaskan kendi tersebut Dan luar biasa, sebab air yang ada di dalamnya tidak tumpah dan kendinya tergantung di udara meskipun tidak dipegang.
Apa yang dirasakan oleh La Patiware ternyata juga dirasakan oleh Datuk Sulaiman. ia juga merasakan ada kekuatan yang teramat besar yang dimiliki oleh Datu Luwu La Patiware.

Datuk Sulaiman kemudian melangkah mendekati kendi yang telah dipersiapkan untuknya. Dengan kekuatan yang dimiliki dan izin Allah swt, Datuk Sulaiman juga mampu melakukan hal yang sama. Bahkan ia memecahkan kendi dan airnya berbentuk cetakan itu tidak tumpah ke tanah, seperti memisahkan benda yang telah terpotong.

Kekuatan yang dipertontonkan keduanya benar-benar menakjubkan orang-orang yang hadir di tempat tersebut. Tepuk tangan membahana. di antara keduanya tak ada yang kalah dan menang. Datu La Patiware mampu melakukan semua yang dilakukan oleh Datuk Sulaiman, begitu juga sebaliknya.
Banyak hal Aneh dan ajaib yang mewarnai kehadiran tiga Mubaligh dari Sumatera ini, melalui berbagai macam cara dan trik syiar Islam akhirnya Datu Luwu beserta perangkat adat Kedatuan Luwu bersedia memeluk agama Islam. Tiga mubaligh langsung bersujud syukur atas rahmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Mereka menganggap tantangan terbesar di Pulau Sulawesi dalam menyebarkan agama Islam telah mereka lewati. Sebab Luwu adalah sebuah Negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, dengan keberagaman adat budaya dan keyakinan suku-suku yang ada di atas teritorinya.
Datuk Sulaiman menetap di Luwu.

Adapun Abdul Makmur menetap di Kerajaan Gowa dan Tallo yang kemudian dikenal dengan nama Datok ri Bandang. Khatib Bungsu yang bernama asli Abdul Jawad memutuskan untuk berangkat ke Bulukumba yang kemudian dikenal dengan nama Datok ri Tiro. Di Luwu, dengan tekun Datuk Sulaiman menyampaikan ajaran agama Islam kepada raja, kalangan istana dan selanjutnya kepada seluruh rakyat Luwu. Tanpa kenal lelah dan penuh kesabaran, Datuk Sulaiman terus membimbing orang-orang yang telah memeluk Islam, hingga akhir hayatnya.

Datuk Sulaiman dimakamkan di desa Pattimang. Karenanya, ia juga dikenal dengan nama Datok Pattimang. Sampai saat ini makamnya masih ada dan sering dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah. Makam beliau berada tidak begitu jauh dari makam Datu Luwu, La Pattiware yang terdapat di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara. (*)

Daftar Pustaka

Sarita Pawiloy (Ringkasan Sejarah Luwu)
Idwar Anwar (Ensisklopedi Sejarah Luwu)

Pos terkait