PERUBAHAN Iklim menjadi momok menakutkan bagi umat manusia. Ini disebabkan antara lain, penebangan hutan, pembakaran batu bara, minyak, gas, dan lainnya sehingga emisi meningkat. Salah satu yang disorot adalah maraknya tambang di Indonesia.
Peruhaan tambang dituding yang hanya mengeruk bumi tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Namun, bagi PT Vale Indonesia sebagai perusahaan tambang yang sudah beroperasi selama 53 tahun, perubahan iklim menjadi salah satu yang menjadi pusat perhatian.
Pada 31 Oktober-12 November lalu, PT Vale Indonesia diwakili Chief Executive Officer (CEO) Febriany Eddy, menghadiri langsung Conference of the Parties (COP26) dan Pavilliun Indonesia yang dilaksanakan di Glasgow, Skotlandia.
Bahkan, Febriani Eddy menjadi salah satu pembicara dalam forum Business Leadership dengan mengangkat tema ” Supporting Ambitious Target Achievement on GHG Emision Reduction”.
Ia menegaskan, sangat penting bagi industri pertambangan untuk bertransformasi guna membangun kepercayaan, tumbuh lebih kuat, dan mencapai hasil yang berkelanjutan. ” Kami di PT Vale berkomitmen menjadi industri pertambangan, yang didorong oleh keberlanjutan dan bekerja untuk mencapai target ambisius Net Zero Emission pada tahun 2050,” ungkapnya.
Bukan hanya cerita kosong yang dipaparkan Febriany di perhelatan tersebut. Faktanya, sejak beroperasi 53 tahun lalu, Vale Indonesia sangat mendukung peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Untuk itu, PT Vale Indonesia telah mengawalinya dengan meningkatkan penggunaan EBT yakni telah membangun dan mengoperasikan 3 Unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas sebesar 365 Megawatt (MW) dan berkontribusi terhadap 36% total energi yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi. Pengoperasian 3 PLTA tersebut mampu mengurangi emisi CO2 lebih dari 1 juta ton CO2eq setiap tahun.
Tak hanya itu saja, pada operasional pabrik di Blok Sorowako telah diterapkan penggunaan teknologi electric boiler, dan pemanfaatan biodiesel B30. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai target Net Zero Emissions pada 2050.
“Perseroan membuat komitmen publik yang sangat ambisius untuk mengurangi emisi karbon terkait dengan kegiatan penambangan, pengolahan, dan pada akhirnya, penggunaan produk kami. Tujuan kami adalah mengurangi emisi sebesar 30% paling lambat pada 2030 dan menjadi net zero emissions pada 2050. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah ditandatangani Vale pada 2019 silam,”kata Febriany.
Demikian pula nantinya pada pembangunan pabrik baru di area Bahodopi, Sulteng yang akan menggunakan PLTG atau energi gas bumi. Pabrik tersebut akan menjadi pabrik nikel dengan emisi karbon per ton nikel terendah kedua setelah Sorowako yang menggunakan PLTA.
Menyusul kemudian pada proyek Pomalaa, di Sultra juga akan menerapkan operasional rendah karbon emisi. “PT Vale Indonesia sangat fokus pada sektor pertambangan dan processing nikel, meski demikian tentunya operasional yang ramah lingkungan menjadi perhatian utama,” ungkapnya. Tak hanya pada penerapan operasional ramah lingkungan, dari sisi komitmen terhadap Paris
Agreement PT Vale Indonesia Tbk terus melakukan reklamasi pasca tambang serta pembibitan. Di atas lahan seluas 2,5 ha di Sorowako, Sulawesi Selatan, dengan menghasilkan sebanyak
700.000 bibit per tahun untuk merehabilitasi 100 hektar area pasca tambang. Data per September 2021 total lahan yang sudah direklamasi mencapai 3.301 hektar.
PT Vale berkomitmen melaksanakan reklamasi yang merupakan bagian dari Rencana Pascatambang (RPT) sesuai Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang.
Kesungguhan PT Vale melaksanakan rehabilitasi lahan sudah dimulai sejak pembukaan lahan. PT Vale menerapkan kebijakan menjaga total luasan lahan tambang terbuka di bawah 1.450 ha. Rehabilitasi lahan pascatambang dilakukan dengan sistem penimbunan atau backfilling, menggunakan lapisan tanah pucuk dan lapisan tanah lainnya dari proses pengupasan lahan.
Tahapan rehabilitasi lahan pascatambang meliputi penataan atau pembentukan muka lahan dengan standar lereng lahan rehabilitasi, pengembalian lapisan tanah pucuk dan lapisan tanah lainnya, pengendalian erosi, pembangunan drainase, pembangunan jalan untuk proses revegetasi, penghijauan, pemeliharaan tanaman, dan pemantauan keberhasilan.
Nursery PT Vale juga memproduksi berbagai jenis tanaman asli setempat (native species) dan tanaman endemik yang merupakan bagian dari konservasi keanekaragaman hayati. Tanaman lokal antara lain betao, bitti, nyatoh, dan manggis hutan. Sementara tanaman endemik contohnya eboni dan buah dengen. Bibit tanaman lokal diperoleh dari area tambang yang dibuka atau hasil kerja sama dengan masyarakat setempat.
Benih-benih tanaman lokal yang dikumpulkan pada area yang akan ditambang dibawa ke nursery untuk dikembangkan.Sebelum kegiatan penambangan dilakukan, PT Vale memastikan tidak ada spesies fauna maupun flora dilindungi yang ditemukan di lokasi penambangan.
Dalam upaya konservasi biodiversitas, PT Vale telah memiliki rencana pascatambang dan manajemen kaenekaragaman hayati untuk 100% wilayah operasi penambangan di blok Sorowako yang merujuk pada Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
“Perubahan iklim adalah nyata. Setiap dari kita dapat berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau,” tandas Febriany. (***)