Momen Mencekam Perlawanan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, Sebelum dan Sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI

Tepat 23 Januari 1946 dini hari hingga pagi, hampir seluruh kota Palopo dikuasai oleh para pemuda pejuang. Dengan semangat yang berkobar, mereka memperkuat pertahanan, banyak pasukan dari Belanda dan sekutunya meninggal dunia karena serangan itu. Hingga pada akhirnya pasukan NICA terdesak untuk mundur dan meninggalkan kota Palopo. (Lukisan/Musly Anwar)

Catatan: Andi Fitria Kambau

PALOPO – Jumat 23 Januari 1946, tujuh puluh enam tahun silam, merupakan hari yang bersejarah bagi masyarakat Tana Luwu.

Bacaan Lainnya

Di mana pada hari itu masyarakat Tana Luwu di bawah kepemimpinan Andi Djemma sebagai Raja/Datu’ pada masa itu, melakukan penyerangan terhadap pemerintah Hindia Belanda atau Netherland Indies Civil Administration (NICA) dan para sekutunya.

Dikutip dari Buku Ringkasan Sejarah dan Budaya Luwu yang ditulis oleh Budayawan asal Tana Luwu, Musly Anwar, perjuangan Rakyat Luwu dibagi menjadi dua bagian, yaitu perjuangan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, dan perjuangan setelah kemerdekaan RI diproklamasikan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945.

Perjuangan rakyat Luwu sebelum kemerdekaan ada 2 September 1905, di bawah pimpinan Mayor De Wijs, Belanda datang ke Palopo, kemudian pada 9 september di tahun yang sama pasukan Belanda kembali mendatangi Palopo yang dipimpin oleh Komandan Kolonel KL. C.A van Loenen.

Saat kedatangan pertama pada 2 September itu, Mayor De Wijs membawa seorang juru bicara yang merupakan penghianat asal Bone.

Ia bernama Daeng Paroto seseorang yang sangat dibenci di daerah asalnya karena penghianatan dan tipu muslihatnya.

Melalui juru bicara Daeng Paroto, kedatangan pasukan Belanda di Wilayah Tana Luwu pada masa itu, untuk membujuk dan meyakinkan Kedatuan Luwu bahwa kehadiran Belanda saat itu semata-mata untuk berdagang dan akan menguntukan bagi Kedatuan dan masyarakat Luwu.

Istana Datu Luwu puluhan tahun silam. (Ft/istimewa).

Kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Andi Kambo sudah membaca siasat dan tipu musliat dari Kolonial Belanda bahwa kedatangan mereka di Tana Luwu hanya akan membawa malapetaka dan ingin menguasai Indonesia bagian timur dengan menguasai tiga kerajaan besar.

Oleh karena itu, melalui Opu Tomarilaleng, Andi Kambo kemudian menyampaikan tawaran itu kepada Andi Tadda, dan tanpa berbelit-belit, Andi Tadda selaku opu Pabbicara dengan keras menolak tawaran dari NICA, dan akhirnya melakukan perlawanan terhadap pasukan NICA yang dibantu oleh Opu Nenena Kaddua dan beberapa orang pilihan dari Ana’Arung Luwu.

Karena situasi dan kondisi Palopo yang tidak kondusif saat Andi Tadda dengan terang-terangan melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Dan demi keselamatan Paduka Datu Luwu dengan putranya yang masih balita yaitu Andi Djemma ia kemudian meminta Opu Nenena Kaddua untuk membawa Datu Luwu bersama keluarga istana untuk meninggalkan Palopo dan menuju ke Baramamase dengan membawa serta barang pusaka Arrajang dan simbol kerajaan.

Melihat istana Luwu dalam kondisi kosong dan tak bertuan, Mayor de Wijs yang merupakan perwira Belanda kecewa kemudian ia mendatangi rumah Andi Tadda di Ponjalae wilayah pesisir Palopo. Kedatangan perwira Belanda itu mulanya disambut baik oleh Andi Tadda.

Namun karena Mayor De Wijs berperilaku tidak sopan dan meminta kepada Andi Tadda untuk membawa Datu Luwu ke Wilayah Poso yang saat itu masih bagian dari Luwu dengan tujuan Datu Luwu mau menyetujui permintaan Gubernur Belanda untuk membebaskan Poso dari pengaruh Kedatuan Luwu.

Permintaan untuk membebaskan wilayah Poso ini sebenarnya sudah disampaikan sejak tahun 1896 oleh seorang Misionaris bernama Ablbertus Christiaan Kruyt bersama Nocolaus Adriani.

Karena perilaku yang tidak menghargai bangsawan Luwu itu, Andi Tadda kemudian melakukan perlawanan dengan cara meludahi muka Mayor, dan karena peristiwa itulah, Mayor De Wijs kemudian melakukan penyerangan pada 11-12 Desember 1905 di wilayah pesisir dipenuhi hutan bakau yang menjadi tempat pertahanan Andi Tadda bersama para pasukannya.

Saat itu, kondisi Palopo sangat mencekam, ribuan peluru meriam dari arah laut yang lepaskan oleh serdadu Belanda menghantam pusat kota Palopo, dan meninggalkan jejak lubang sedalam satu meter setengah di Istana Kedatuan Luwu.

Sementara warga Palopo yang mendengar ledakan meriam di malam itu terbangun dan berbondong-bondong menuju basis pertahanan Andi Tadda untuk memperkuat benteng dari serangan musuh.

Siang hari 11 Desember 1905, pasukan Belanda terus berusaha mencari celah untuk masuk dan menguasai Kota Palopo.

Sekoci-sekoci milik Belanda terus saja mondar-mandir hingga ke daerah Balandai bagian utara Palopo, namun rakyat yang saat itu ikut membentengi pertahanan terus mengahalau serdadu Belanda.

Hingga pada malam harinya, Belanda akhirnya berhasil masuk melalui Ponjalae dan berhasil menangkap Andi Tadda.

Oleh pasukan Belanda, Andi Tadda kemudian dihujani peluru, namun tak satupun peluru itu yang mampu melukai Andi Tadda Opu Pabbicara yang dikenal dengan ilmu kekebalan tubuhnya, hingga seorang penghianat memberi tahu kelemahan dari Andi Tadda.

Ia menyuruh pasukan Belanda mengikat Andi Tadda dan dengan tangan yang diborgol, Belanda memasukkan moncong senjata miliknya kemulut Andi Tadda kemudian melepaskan peluru yang kemudian menembus hingga belakang kepala Andi Tadda, Opu Pabbiccara akhirnya meninggal dunia di malam itu.

Ia meninggal setelah berjuang mempertahankan kota Palopo dari Belanda selama kurang lebih 20 jam.

Tidak hanya di Kota Palopo, Tana Luwu bagian Utara, yang saat ini dikenal dengan nama Kabupaten Luwu Utara juga bergejolak. Penyerangan Belanda di Utara lebih dulu dilakukan, tepatnya pada 12 November 1905, ajakan Belanda untuk membebaskan wilayah Poso dari pengaruh kedatuan Luwu juga ditolak keras oleh Makole Baebunta yang saat itu dijabat oleh Opu Topawennai, yang kemudian disambut dengan penyerangan Belanda di tepi sungai Rongkong.

Penyerangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Makole Baebunta itu membuat banyak pasukan Belanda tewas.

Pada 20 November 1905, Belanda kembali melakukan penyerangan melalui sungai Rongkong yang pada saat itu sedang banjir, kondisi ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pasukan Makole Baebunta yang menyamar sebagai penunjuk jalan bagi pasukan Belanda.

Mereka menggiring Belanda ke tempat yang lebih sempit dengan arus deras dan bebatuan besar disungai itu sehingga pasukan Belanda banyak yang hanyut, beberapa orang yang selamat kemudian di tangkap oleh pasukan Makole Baebunta.

Dua kali melakukan penyerangan dan tidak pernah berhasil, Belanda kemudian mengubah strategi dengan berusaha masuk melalui pelabuhan Wotu dengan menggunakan tiga kapal besar Borneo. Belanda tiba di perairan Wotu pada 16 November 1905.

Hingga pada 2 Januari 1906, Belanda kembali menuju Sabbang Lowa untuk mengepung Andi Pandangai namun gagal bahkan hingga beberapa kali melakukan upaya pengepungan, kemudian di bawah pimpinan Kapten Hoed, pasukan Belanda kembali bergerak menuju Sabbang dengan melalui jalur Daddeko.

Oleh juru teriak dari pihak Belanda yang saat itu sudah berhasil menembus pertahanan di Sungai Rongkong, meneriakkan nama Kedatuan Luwu meminta agar pihak Kemakolean Baebunta bisa berdamai, dan mengabulkan keinginan Belanda.

Namun Opu Makole Baebunta yang saat itu telah jabat oleh Andi Mannenne mengabaikannya, beliau bahkan melakukan perlawanan dan menodongkan senjata miliknya ke arah juru teriak Belanda, naas bagi Opu Makole Baebunta, seorang prajurit penembak jitu Belanda menghadang dan menembak Andi Makole Baebunta hingga tewas, perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh sang istri bernama Andi Puttiri.

Ketika Belanda menguasai Tana Luwu, tak sedikit nama dari Tokoh-Tokoh dan Ana’Arung Luwu tercatat dalam sejarah Luwu yang ikut mengambil posisi dalam perlawanan dan penyerangan untuk membebaskan tana Luwu dari jajahan Belanda.

SELANJUTNYA KLIK HALAMAN 2

Pos terkait