Dalam sejarah Tana Luwu, Andi Tadda Opu Pawelai Ponjalae, Makole Baebunta Opu Tapawennai yang kemudian digantikan oleh Andi Mannenne yang akhirnya meninggal dunia yang kemudian perjuangannya diteruskan oleh sang isrti Andi Puttiri, ada beberapa nama lainnya yang pada masa itu juga berjuang mempertahankan wilayah dan kekuasaan Kedatuan Luwu.
Diantaranya, Bau La Saeyyo Pua Mona yang merupakan leluhur Macowa Bawalipu ke 5 yang kemudian dikenal dengan perlawanan Macowa Bawalipu ke 47 pada Oktober 1905.
Kemudian Andi Pandangai yang berasal dari Kamanre yang kemudian diberikan amanah oleh Datu Luwu, Andi Kambo untuk bertanggungjawab pertahanan kerajaan di wilayah bagian utara.
Pergolakan yang dikenal dengan Revolusi Luwu 1905-1906 itu awalnya dikobarkan di Kolonedale hingga ke suangi Wae Sule. Saat itu, Andi Pandangai berjuang mempertahankan setiap jengkal wilayah Kerajaan Luwu. Hingga pada tahun 1906, jeruji penjara milik penjajah Belanda menghentikan perjuangannya serta pejuang Luwu lainnya dan diasingkan di Nusa Kambangan, meski sempat melarikan diri, Andi Pandangan akhirnya kembali tertangkap.
Pasca revolusi 1905-1906 meletus, perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh cucu dari Datu Luwu sebelumnya bernama La Oddampero bergelar Petta Mattinro’e Kampong M’beru ini menghalau penjajah dengan menggunakan senjata tradisional dengan mempertaruhkan nyawa demi menjaga harkat dan martabat Kerajaan dan masyarakat Luwu.
Atas perlawanannya itu, ia dihadiahi berbagai jeruji dan tempat pengasingan oleh Belanda, ia kemudian meninggal dunia setelah dibebaskan dari penjara pengasingan pada 17 Agustus 1964.
Haji Hasan, salah satu pejuang Luwu yang melawan penjajah Belanda pada tahun 1906 hingga tahun 1914. Ketika Haji Hasan berhasil ditawan oleh Belanda pad tahun 1914, muncul seorang bangsawan berasal dari Basessangtempe bernama Pong Simpin yang kemudian memimpin rakyat Pantilang melakukan perlawanan secara gerilya terhadap Belanda.
Pong Simpin menyerang Belanda yang hendak mamasuki wilayah kekuasaannya di sekitar daerah pedalaman berbukit di kaki gunung Latimojong, karena penyerangan itu pula Pong Simpin kemudian dianggap sebagai buronan oleh Belanda dan ditangkap di daerah Buntu Puang di wilayah Panttilang kemudian bersama pengikutnya ia diasingkan di Pulau Jawa, semenjak pengasingan itu, Pong Simpin seolah hilang dan tidak lagi terdengar kabar darinya.
Opu Tojabi, merupakan bangsawan menengah dengan sosok misterius dan selalu lolos dari serangan Belanda. Opu Tojabi bisa berada didua tempat berbeda dengan waktu yang bersamaan.
Suatu ketika ia menyerang Belanda di Doping dan pada waktu yang bersamaan terdengar kabar bawha ia telah membunuh kurir Belanda di Wawo bagian Tenggara Luwu.
Ketika Datu Luwu, Andi Kambo dikabarkan meninggal dunia, Opu Tojabi yang paham akan silsilah kerajaan, tahu betul bahwa yang pantas menggantikan Andi Kambo sebagai datu yaitu putranya Andi Djemma yang merupakan anak Mattola, namun saat prosesi pemilihan datu situasi menjadi genting, ia dengan gagah berani berada paling depan menjaga gerbang istana siap untuk melawan siapapun yang ingin menghalangi pengangkatan Andi Djemma sebagai datu Luwu.
Ketika Jepang masuk ke Wilayah Tana Luwu, Opu Tojabi yang saat itu tertipu karena mampu mengalahkan Belanda, ia mengaggap Jepang adalah sang pembebas. Belum lagi propaganda yang Jepang buat menyebutkan bahwa mereka dalah saudara tua yang datang untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Karena termakan tipu daya dan bujuk rayu Jepang, Opu Tojabi tanpa berfikir panjang membawa serdadu Jepang memasuki wilayah Palopo.
Setibanya di Palopo, ia kemudian dihantam oleh algojo Jepang, Harada dan akhirnya jatuh tersungkur.
Opu Tojabi kemudian dimasukkan ke dalam penjara Palopo, disana ia kerap mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, bahkan Opu Tojabi yang saat itu sudah tua pernah di masukkan ke dalam wajan yang berisi minyak mendidih, karena ia dikenal dengan kekebalan tubuh yang luar biasa, segala upaya Jepang untuk membunuh Opu Tojabi dengan berbagai siksaan sia-sia.
Sehingga pada akhirnya, Jepang berinisiatif untuk membunuhnya dengan cara kelaparan, selama berbulan-bulan Opu Tojabi tidak diberi makan dan minum dan menghembuskan nafas terakhirnua di dalam penjara Palopo.
Andi Baso Opu To Sappaile, merupakan anak dari Andi Tadda Opu Pawelai Ponjalae yang ketika perang pada 11 September 1905 berkahir, ia dibebaskan dari tuntutan Belanda, kemudian diangkat menjadi Opu Patunru yang merupakan penghormatan kerajaan terhadap ayahnya. Pada tahun 1908 ia kemudian menikahi sang Datu Luwu, Andi Kambo Opu Daeng Risompa yang saat itu sudah berstatus sebagai janda.
Dalam pemberontakan dan perlawanan Haji Hasan melawan Belanda, tidak luput dari bantuan Opu To Sappaile, dari berbagai sumber mengatakan, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh Haji Hasan merupakan perintah dari Opu To Sappaile begitu juga dengan upaya Belanda yang selalu gagal untuk menangkap Haji Hasan dikarenakan adanya pemberintahuan dari Andi Baso Lempulle kepada Haji Hasan sebelum Belanda sebelum melakukan penyerangan, hal itu diperkuat dengan ditemukannya kris milik Datu Luwu yang digunakan oleh Haji Hasan.
Setelah Haji Hasan meninggal dunia di penjara Palopo sekitar tahun 1914, Assistant Resident Boer kemudian memanggil suami dari Datu Luwu itu untuk menjalani rangkaian interogasi atas kecurigaan Belanda terhadap Opu To Sappaile yang mendalangi perlawanan Haji Hasan.
Berbagai pertanyaan dan tudingan dilontarkan oleh Boer untuk menyudutkan Opu To Sappaile, namun selalu mendapatkan jawaban yang tepat dan tenang. Karena kepiawaiannya dalam berbicara, banyak fitnah dan hasutan yang dilakukan oleh orang-orang yang iri kepadanya, kemudian Belanda memberikan hukuman pembuangan pada tahun 1915 ke Pulau Jawa bersama pejuang lainnya.
Opu Daeng Risadju dikenal sebagai salahsatu pahlawan nasional perempuan yang berasal dari Tana Luwu. Dalam perjuangannya menyebarkan islam dan melakukan perlawanan terhadap penjajah, terhitung dua kali dipenjarakan, mendapatkan siksaan yang tidak manusiawi, hingga kedua telinganya tuli hingga meninggal dunia pada 10 Februari 1964.
Atas jasa-jasanya Opu Daeng Risadju dianugerahi gelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional pada 3 November 2006 silam.
PERJUANGAN RAKYAT LUWU SETELAH KEMERDEKAAN
Sebelum hari di mana rakyat Luwu melakukan perlawanan secara besar-besaran pada 23 Januari 1946 silam yang dikenal dengan Hari Perlawanan Rakyat Luwu Semesta, Andi Djemma yang saat itu sudah diangkat menjadi Datu Luwu menggantikan Ibundanya yang telah wafat Andi Kambo, pada 19 Agustus 1945 ia bersama tokoh pemuda lainnya membentuk Organisasi Tujuh Soekarno Muda yang diketuai oleh putra pertama Pappoatae Andi Djemma bernama Andi Mackulau dengan alasan untuk mengambil tindakan antisipasi kemungkinan kembalinya Belanda di Tana Luwu.
Organisasi ini dibentuk setelah Datu Luwu, Andi Djemma mendengar kabar bahwa Presiden RI, Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Hingga pada Desember 1945, tercatat hanya dua raja utama di Sulawesi Selatan yang tetap mendukung RI yaitu, Datu Luwu, Andi Djemma dan Raja Bone Andi Mappanyukki. Karena terang-terangan mendukung pemerintah RI, Tana Luwu kembali dikontrol oleh Pemuda Pejuang RI, Sekutu Tentara Australia, dan NICA.
Karena ulah semenah-menah dan terror yang dilakukan oleh pasukan NICA yang mendatangi rumah Madika Bua dan membuat kekacauan di beberapa wilayah Tana Luwu termaksud salah satunya merusak masjid Jami Bua pada 21 Januari 1946, mengakibatkan emosi para pejuang pemuda dan rakyat Luwu kembali tersulut, dan memberikan ultimatum kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk kembali menarik pasukannya dalam tempo 2×24 jam.
Dan karena ultimatum itu diabaikan oleh sekutu dan Pemerintah Hindia Belanda, maka pemuda pejuang dan rakyat Luwu mengatur strategi untuk melakukan penyerangan balik pada 25 Januari 1946, namun berita tersebut lebih dulu sampai ke telinga para serdadu dan sekutu, dan oleh NICA kemudian mengatur siasat untuk terlebih dulu melakukan penyerangan terhadap rakyat dan berencana menangkap Datu Luwu, Andi Djemma.
Serangan rakyat Luwu yang tadinya akan dilakukan pada 25 Januari dimajukan oleh M. Landau yang merupakan pemimpin pasukan pemuda pejuang pada 23 Januari 1946.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari diabaikannya ultimatum para pemuda pejuang itu maka terbentuklah komando yang diberi nama tiga serangkai pertempuran dibawah komando Andi Tenriadjeng, M. Yusuf Arief, dan M. Landau Daeng Mabbate.
Tanpa menunggu lama, masing-masing komando pasukan itu mempersiapkan segala sesuatunya untuk melakukan penyerangan atas tindakan sekutu Belanda.
Pada saat itu, ketika Datu Luwu ketika menjamu pasukannya dan bantuan pasukan dari Lasusua berucap “ Saya dan Datu kalian sudah sangat ingin mendengar suara letusan senjata”, maka ucapan itupun menjadi pertanda penyerangan untuk mengusir Belanda dan sekutunya dimulai dengan suara letusan senjata dari M. Yusuf malam dimana situasi kota palopo sangatlah mencekam.
Tepat 23 Januari dini hari hingga pagi hampir seluruh kota Palopo dikuasi oleh para pemuda pejuang, dengan semangat yang berkobar, mereka memperkuat pertahanan, banyak pasukan dari Belanda dan sekutunya meninggal dunia karena serangan itu, hingga pada akhirnya pasukan NICA terdesak untuk mundur dan meninggalkan kota Palopo.
Setelah berhasil memukul mundur tentara sekutu Belanda, perjuangan rakyat Luwu nyatanya belum usai, kondisi Palopo semakin mencekam, karena membahayakan nyawa Datu Luwu dan para pasukan, saat itu pula, Datu Luwu meminta untuk sementara waktu mengungsi ke hutan belantara.
Maka pada 24 Januari 1946, Datu Luwu bersama para pasukan pejuang pemuda dari Palopo kemudian hijrah ke Cappasolo, Malangke.
Selain nama-nama komando tiga serangkai diatas dan tujuh Soekarno muda, masih ada beberapa nama pejuang muda Luwu yang ikut mempertaruhkan nyawa mereka demi kemerdekaan rakyat Luwu, diantaranya :
- Muh. Djufrie Tambora, merupakan tokoh pejuang asal Kolaka Utara yang saat itu masih menjadi wilayah Kedatuan Luwu.
- Kahar Mudzakkar, seorang tokoh pemuda yang berasal dari Lanipa, mempunyai sikap yang anti feodalisme dan anti penjajahan. Karena sikapnya itu ia kemudian difitnah mencuri oleh Jepang. Ketika Kahar Mudzakkar menganggap Kedutuan Luwu terlalu pro terhadap Jepang, akhirnya ia dijatuhi hukuman adat “Ippaopangi Tana” karena mengungkit sistem strata dalam wilayah Luwu. Meski tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di Tana Luwu, ia tidak sertamerta berhenti kemerdekaan Indonesia. Kahar Mudzakkar bahkan tercatat memimpin gerilya baik itu di Pulau Jawa maupun di Sulawesi.
- Andi Attas, seorang pemuda asal Masamba yang diangkat menjadi Opu Palempang sekaligus sebagai pemimpin tertinggi Pemuda Walendrang. Dimasa perjuangan membela bangsa dari penjajah, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan penjajah di Lelong, Batu Sitanduk, Pombakka, dan Salu Pongko.
Hingga terjadinya perlawanan yang memaksa pihak Belanda melakukan konferensi meja bundar dan kemudian memutuskan memberikan kemerdekaan kepada masyarakat Tana Luwu yang dikenal dengan nama Masamba Effair
Meski pejuangan belum sepenuhnya berakhir, oleh masyarakat Tana Luwu yang saat ini telah terbagi menjadi tiga Kabupaten (Kab. Luwu, Kab. Luwu Utara dan Kab. Luwu Timur) dan satu kota (Kota Palopo) memperingati hari perjuangan rakyat luwu setiap tanggal 23 Januari, hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang muda tana Luwu dalam upayanya memerdekan raktyat Luwu dan mengusir para sekutu Belanda dari Tana Luwu.
Untuk diketahui, dari berbagai informasi yang dihimpun, Kedatuan Luwu merupakan salahsatu kerajaan tertua yang ada di Indonesia, khususnya di Sulawesi.
Di dalam epic I La Galigo, ada tiga kerajaan bugis yang tercatat sebagai kerajaan pertama, yaitu, Kerajaan Luwu, Wewang Nriwuk dan Tompotikka.
Jika merujuk pada epic I La Galigo yang merupakan sumber paling akurat dan tertua sejarah Luwu, pemerintahan Luwu pertama kali dibawahi oleh seorang raja bernama Batara Guru dan Batara Lattu yang diperkirakan berada pada satu zaman dengan kerajaan Sriwijaya atau pada abad ke 7 Masehi.
Namun Kerajaan Luwu baru dituliskan pada sebuah kitab berjudul Kakawin Nagarakretagama pada abad ke 14, dalam kitab tersebut menuliskan bahwa Kerajaan Luwu berada di bawah pengaruh kerajaan Majapahit, Lombok, Bantayan, Undamakatraya dan pulau-pulau disekitarannya pada priode Prabu Hayam Wuruk sekitar tahun 1350-1389 Masehi.
Yang Mulia Datu Luwu Andi Maradang Mackulau Opu To Bau sendiri merupakan Datu atau Raja Luwu ke XL.
Saat malam resepsi agung digelar di Istana Kedatuan pada 21 Januari 2022, ia mengungkapkan bahwa, kerajaan Luwu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara Khususnya di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini masih eksis. (*)