OLEH : Anjas Chambank, Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
LA GALIGO adalah nama sebuah karya sastra dalam alphabet bugis yang menceritakan tentang leluhur orang Luwu (Tana Luwu – Sulawesi Selatan, Indonesia) dimana pada bagian utama masih dalam bentuk tulisan tangan menggunakan huruf Lontara.
Karya itu juga dikenal dengan nama Sureq Galigo. Berasal dari sekitar abad ke-14 dengan asal-usulnya dalam tradisi lisan, isinya adalah pra-Islam dan bersifat epik-mitologis berkualitas sastra tinggi.
Ukuran keseluruhan karya ini sangat besar (diperkirakan 6.000 halaman folio) dan dapat dianggap sebagai karya sastra paling produktif di dunia.
Banyak naskah dalam koleksi pribadi di Sulawesi Selatan dan biasanya rusak parah karena kondisi iklim yang sangat tidak menguntungkan. La Galigo adalah teks puitis yang diatur dalam meter yang ketat dan menggunakan kosa kata Bugis tertentu. Bahasanya dianggap indah dan sulit.
Ancaman utama untuk memahami La Galigo adalah hilangnya pengetahuan tentang naskah Bugis khususnya bahasa di mana La Galigo dikomposisikan, itulah mengapa UNESCO menetapkan I La Galigo sebagai Memory Of The World sebagai karya sastra terpanjang di dunia mengalahkan panjangnya kisah Mahabarata dan Ramayana.
Banyak manuskrip La Galigo dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Manuskrip La Galigo lainnya tersedia dalam koleksi publik di lokasi seperti Jakarta (Indonesia), Leiden (Belanda), London dan Manchester (Inggris), Berlin (Jerman), dan Washington DC (Amerika Serikat). Karya ini sangat besar sehingga tidak ada naskah yang berisi seluruh karya.
La Galigo yang tersebar di seluruh dunia semuanya mengandung fragmen-fragmen karya, beberapa di antaranya merupakan episode yang sangat besar, yang lainnya cukup kecil.
Dari sudut pandang filologis masing-masing manuskrip ini memiliki nilai dan kepentingan yang sama. Idealnya, semua ratusan manuskrip La Galigo ini sebagai sebuah entitas harus dinominasikan, tetapi dari sudut pandang praktis ini tentu saja tidak mungkin.
Jadi, tanpa mengabaikan nilai setiap naskah La Galigo lain yang tersedia, UNESCO telah memilih nominasi dua naskah yang sangat penting.
Naskah pertama adalah bagian dari koleksi naskah Museum La Galigo di Makassar, Indonesia. Ini memiliki 217 halaman, tidak bertanggal, tetapi mungkin ditulis pada paruh pertama abad ke-19.
Naskah untuk sebagian besar masih dalam kondisi baik tetapi langkah-langkah pelestarian sangat dibutuhkan. Teks berisi satu episode lengkap La Galigo, yaitu perjalanan oleh Sawerigading dan putranya La Galigo ke Senrijawa. Seluruh teks telah dipelajari dan dijelaskan.
Naskah kedua disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden terdiri dari 12 jilid koleksi B.F. Matthes dengan jumlah 300.000 bait dan berisi fragmen La Galigo yang mencakup bagian ketiga pertama dari keseluruhan karya. Ini berasal dari pertengahan abad ke-19 dan telah ditulis oleh Retna Kencana Colliq Pujie (Arung Pancanatoa).
Naskah telah dipelajari oleh banyak sarjana, terakhir oleh Drs. Muhammad Salim, yang telah menyalin dan menerjemahkan naskah lengkap pada tahun 1988-1993. Keunggulan naskah La Galigo bukan saja pada kuantitasnya tapi kepada kualitasnya. Konvensi nilai sastra yang tinggi, konsistensi jumlah suku kata perbaitnya, penokohan dan tokohnya yang unik, serta kompleksitas alur ceritanya.
Kebesaran I La Galigo sangat diakui dunia terlebih ketika Pertunjukan teater tari I La Galigo karya Robert Wilson di pentaskan di berbagai negara sejak 2004 sampai 2019, dengan pertunjukan tersebut membuat I La Galigo semakin dikenal. Juga Musly Anwar seorang seniman asal Tana Luwu yang berhasil mengadaptasi cerita I La Galigo dalam pertunjukan yang lebih intim di Taman Budaya Yogya beberapa tahun silam, yang kemudian di pentaskan di beberapa daerah di Luwu Raya, melalui pendekatan konten local.
Hanya sayangnya kebesaran ini tidak berdampak secara menyeluruh dan massive di Tana Luwu tempat leluhur La Galigo lahir, di kota Palopo sendiri sebagai Ibukota Tana Luwu I La Galigo semacam kehilangan jejak, tidak satupun tempat atau ruang dimana warisan dunia ini bisa di dapatkan dengan mudah, museum, gallery, art space tidak tersedia di Palopo sebagai pusat literasi sebuah kota budaya, jadi sangat sulit mencari literatur mengenai I La Galigo itu sendiri secara utuh, sangat di sayangkan karena Palopo adalah kota madya di Luwu Raya (Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur & Palopo).
Sebuah daerah akan maju menyoal tradisi, kebudayaan dan pariwisata apabila ada pusat study dimana informasi tersebut mudah diakses, maka selayaknya Palopo sebagai Pusat belajar di Luwu Raya sepatutnya punya Rumah Baca I La Galigo, dimana informasi-informasi mengenai Kitab I La Galigo mudah di temui dan bisa menjadi bahan pembelajaran untuk Siswa dan Mahasiswa sebagai pembahasan di tingkat Akademik, juga masyarakat umum sebagai pembelajaran terkait faham primordialisme, dengan begitu I La Galigo nantinya tidak hanya menjadi sebuah sejarah yang akan di tinggal atau mati dengan sendirinya, namun menjadi sebuah pusat study akademik yang akan terus di bicarakan dan di kaji, sehingga pelestariannya akan selalu terjaga.
Tentunya, Rumah Baca I La Galigo tidak menjadi solusi satu-satunya untuk pelestarian warisan I La Galigo itu sendiri, melainkan menjadi salah satu solusi agar masyarakat palopo dan luwu raya pada umumnya tidak gagap ketika berbicara soal I La Galigo, karena akan menjadi tamparan keras jika orang luar yang lebih tau dan paham mengenai I La Galigo di banding masyarakat Luwu Raya itu sendiri, karena pada kenyataannya saya (Anjas Wirabuana S,Pd a/n Anjas Chambank) yang sementara melanjutkan study magister di Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Tata Kelola Seni sangat bangga jika beberapa dosen justru membanggakan Kitab I La Galigo sebagai sebuah warisan dunia yang sudah di tetapkan oleh UNESCO.
Bahwa harusnya Indonesia bangga karena punya Kitab I La Galigo yang diakui dunia ucap beberapa dosen, lalu pertanyaannya yang kemudian muncul, jangan sampai kedepannya masyarakat Palopo atau Luwu Raya secara umum akan tidak mengetahui lagi bahwa leluhur I La Galigo berasal dari Tana Luwu karena kurangnya informasi maupun ruang public untuk belajar dan berdiskusi terkait I La Galigo itu sendiri.
Maka sebelum waktu itu tiba kita harus segera melakukan sebuah system untuk pelestariannya, sekaligus menjadi tempat pembelajaran dan kajian budaya nantinya.
Rumah Baca I La Galigo mungkin menjadi sebuah penawaran yang patut untuk di pertimbangkan oleh dinas terkait di pemerintah Kota Palopo dalam hal ini Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata & Dinas Pendidikan, untuk sebuah rancangan Rumah Baca I La Galigo, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan para akademisi, praktisi, sejarawan, seniman dan budayawan.
Dengan begitu bukan hanya pembelajaran dan informasi yang akan kita capai, jauh dari itu ada sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dalam proses mengembangan Rumah Baca I La Galigo, maka nantinya akan ada pemangkasan waktu dalam perjalanannya, karena Rumah Baca I La Galigo berangkat dari konsep gagasan para pakar di bidangnya masing-masing.
Semoga kedepannya dapat terealisasi, agar I La Galigo tidak kehilangan jejak di kampung halamannya sendiri.
Keagungan kitab I La Galigo tidak perlu di ragukan lagi, sebab dunia telah mengakuinya (UNESCO).
Tugas kita sebagai generasi pelanjut ialah tetap melestarikan warisannya, dengan begitu sebuah kebesaran sejarah akan terus tumbuh dan berkembang secara informasi yang valid. I La Galigo bukan lagi milik masyarakat Luwu saja, melainkan milik seluruh dunia. Maka kekuatan terbesar yang harus kita lakuakan ialah mempertajam identitas, sebelum kehilangan dan diakui oleh daerah maupun Negara lain. (*)