Hidup memang sulit, tetapi mungkin tidak jika Anda memiliki talenta digital. Apalagi jika Anda perempuan yang tak lelah belajar dan berkarya, seperti mereka ini;
ADE Gita Ramadhani tidak akan pernah lupa bagaimana dunia mengempaskannya ke sudut paling sempit. Toko kuenya yang sudah berjalan enam tahun, harus tutup dan sisa kasnya dipakai untuk merintis kedai kopi bersama suami. Kedai yang kemudian tak banyak dikunjungi orang karena pandemi Covid-19 melanda.
Kedai gantung mesin, modal benar-benar sudah menipis. Pada saat bersamaan, Agita –sapaan akrab Ade Gita Ramadhani, butuh biaya untuk lahiran anak kedua. Ibunya juga tiba-tiba sakit dan harus menjalani opname. Sepeda motor vespa kesayangan suami yang dirawat seperti anak sendiri, pun harus dijual. Dia sendiri menyebut kejadian itu sebagai titik terendahnya.
Di tengah “badai” yang silih berganti itulah Agita sempat terpikir internet mungkin bisa membantu. Dia kerap melihat mendengar kisah para kreator konten yang cukup mudah mendapatkan uang.
Nah, tekad sudah ada. Kendalanya hanya satu dan sayangnya itu cukup signifikan; Agita awam soal dunia digital! Keterampilan tertingginya adalah mengunggah Instastory. Walau begitu, dia memutuskan untuk jalan terus, sebab hanya itu pilihannya.
Sebagai istri, walau tetap di rumah saja, Agita merasa harus bisa membantu suaminya yang sedang babak belur dihantam situasi.
Mulailah dia membuat konten-konten meracik kopi untuk ditampilkan di Instagram. Kebetulan, alumni Teknik Elektro Universitas Hasanuddin memang penggemar kopi. Agita mendeskripsikan dirinya sebagai kreator digital yang suka ngopi dan sharing bikin minuman untuk dijadikan peluang bisnis dan cuan. Dia pun membuat video-video dengan editing seadanya di ponsel.
Sampai di situ, keberuntungan belum juga berpihak. Atau, pikirnya, keterampilan yang belum memadai. Konten-kontennya sepi penonton. Follower atau pengikutnya mentok di angka 1.000.
“Sama sekali tidak menghasilkan,” kenang Agita di rumahnya di Maccopa, Maros, Selasa, 26 September 2023. Maros adalah sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dan bentangan karst Rammang-rammang yang terkenal itu adanya di Maros.
Akhirnya dengan uang tersisa, yang mungkin sebaiknya dipakai membeli beras saja, Agita memutuskan ikut kelas. Di situ akunnya dibedah. Sang mentor kemudian tiba pada kesimpulan bahwa konten-konten Agita lebih pas jika tak menampilkan wajah. Cukuplah gelas, sendok, atau buih-buih kopi saja yang ada di layar. Agar pesan dari konten bisa lebih tersampaikan.
Agita sempat kaget dengan rekomendasi itu. Tetapi namanya guru, ya diikuti saja. Pas dipraktikkan, terbukti. Kontennya “pecah telur”, pemirsanya tembus 1 juta. Followers-nya naik ke 10.000 dalam waktu dua bulan.
Namun itu pun belum bisa diandalkan jadi mata pencarian keluarga. Agita hanya bisa meraup Rp100 ribuan dari menjadi afiliator di TikTok, bantu-bantu jual produk orang dan dapat komisi.
Agita tidak menyerah. Dia merasa dunia digital adalah jalan ninjanya, demi keluarga dan terutama anak-anak. Dia belajar lagi. Ikut pelatihan lagi.
Ternyata, masih ada yang kurang tepat dari strategi postingan-nya selama ini. Setelah itu dibenahi, satu kontennya mampu menghasilkan Rp75 juta dalam dua hari dan rekor baru tembus Rp200 juta dalam dua pekan.
Sampai Agustus 2023, Agita mampu meraup Rp800 juta. Dalam sekejap, dunia tampak cerah lagi di mata batin perempuan berusia 30 tahun itu.
Modal Tekad, Bukan Nekat
Kesulitan-kesulitan saat tiba di usia dewasa juga sempat dirasakan betul oleh Sri Rahmadani Mappiare; perempuan cantik, berhijab, yang kini seorang dokter.
Dan sama seperti Agita, internet juga yang menyelamatkannya. Skill digital yang terus diasah dan diperbarui mengantarkannya ke situasi yang lebih baik. Meski awalnya dia juga awam sama sekali.
Saat masih kuliah di fakultas kedokteran, Rahma –begitu orang-orang dekatnya memanggil, cukup keteteran dengan biaya kuliah dan hidup sehari-hari. Namun dia tak mau menyerah. Lebih baik bersusah-payah daripada mengubur mimpi-mimpi.
Dia coba-coba menggeluti modeling hingga jadi tukang make up. “Saya kuliah sampai coass itu sambil cari cuan. Soalnya saya sadar bukan anak sultan,” candanya, tetapi sepertinya serius.
Rahma sebagaimana anak milenial pada umumnya, juga akrab dengan Instagram. Dia pun mengikuti akun sejumlah influencer yang kemudian menginspirasinya.
Rahma memulai kiprahnya dengan konten-konten tutorial make up. Bekalnya sebuah ponsel android murah dan alat-alat rias seadanya. Pencahayaan dari senter.
Tak begitu lama, sebuah toko daring menawarkan produknya untuk dipromosikan dengan bayaran yang ternyata bukan uang. Hanya dibayar pakai produk.
“Saya pikir nda apa-apa, yang jelas saya dapat produk gratis. Nda beli mi lagi. Bisa hemat uang juga kan, maklum masih mahasiswa,” katanya dengan aksen khas Sulawesi Selatan. Rahma berasal dari Pangkep, kabupaten yang bertetangga dengan Maros, tempat Agita si penyuka kopi bermukim. Pangkep juga relatif dekat dari Makassar.
Untuk menghargai proses dan tanggung jawab kepada klien, Rahma pun terus mengasah skill-nya. Dia sadar semua ini butuh tekad, bukan sekadar nekat. Dia tak malu bertanya ke teman-teman dan tak lelah belajar editing melalui Youtube, TikTok, dan semacamnya. Sampai sekarang saat followers-nya sudah menembus 82 ribu, Rahma terus melakukan itu. Dia sepakat bahwa selain aplikasi di ponsel, keterampilan juga harus rutin di-update.
Perempuan 27 tahun itu masih mengingat besaran uang pertama yang diterimanya sebagai selebgram, yakni Rp100 ribu untuk meng-endorse produk baju. “Senang sekali rasanya dan saya makin semangat bikin konten walau pencahayaan masih pakai senter,” tuturnya.
Seiring waktu, Rahma semakin dikenal. Sebagian orang bahkan hanya tahu dia seorang selebgram, tanpa tahu bahwa Rahma juga bisa membantu menyembuhkan orang-orang sakit. Dia mengaku mendapat penghasilan tambahan yang disebutnya “sangat lumayan”.
“Bahkan kadang gajiku sebagai dokter pun kalah. Hehehe,” imbuhnya.
Rahma bisa membantu kehidupan keluarga, beli iPhone, iPad, hingga kendaraan berkat job side-nya sebagai kreator konten. Pekerjaan sampingan yang sering mengalahkan pekerjaan utama dari sisi pendapatan. Dia bersyukur Tuhan menitipkan talenta yang tidak hanya satu.
Tularkan ke Komunitas
Satu sendok kopi saset Agita masukkan ke sebuah gelas tinggi. Disusul satu sendok gula, air hangat, lalu dibelender menggunakan alat portabel. Empat biji es batu dicemplungkan kemudian diaduk, ditutup dengan beberapa mililiter susu segar.
Segelas dalgona coffee dalam versi dingin pun tersaji. Dari penampakannya, itu bisa diadu dengan menu serupa yang dijual mahal di kafe-kafe. Tetapi jangan lupa, itu hanya dibuat di dapur rumah, dengan bahan baku yang bisa didapat di warung-warung tetangga.
Itu hanya satu dari entah berapa banyak tutorial membuat kopi yang Agita bagikan secara gratis di Instagram dan TikTok. Entah berapa banyak juga ibu-ibu rumah tangga yang mendapat inspirasi, baik yang akhirnya bisa membuat dalgona untuk sekadar disajikan untuk menami sore hari suami tercinta, hingga yang mampu membuka sebuah usaha.
Agita juga membuat kelas khusus bagi yang ingin belajar lebih detail. Biasanya digelar via Zoom atau Google Meet. Kelas yang berbayar dan tentu saja sekalian menambah penghasilannya sebagai kreator digital. Namun dia memastikan ada ilmu yang bisa peserta petik, yang mungkin akan berguna bagi yang ingin mengubah hidup menjadi lebih baik.
Istimewanya lagi, Agita membentuk sebuah komunitas. Komunitas Agita namanya. Tempat orang-orang berkumpul untuk saling dukung. Tempat yang disiapkan Agita untuk menjawab ratusan pertanyaan melalui DM atau direct message. Mulai pertanyaan soal resep, bagaimana memulai sebuah usaha, hingga cara menggunakan mokapot.
Perempuan 30 tahun itu akhirnya tiba fase di mana dia sudah bisa berbagi. Sudah jauh lebih baik dibanding hari-hari sulit di masa itu. Uang menipis, hendak lahiran, ibu sakit, terpaksa melego vespa kesayangan suami. Dia tak hanya bisa lepas dari masa-masa sulit, namun juga memberi motivasi bagi sesama untuk ikut bangkit, menghadapi kerasnya dunia.
Rahma, si dokter cantik asal Pangkep juga tak cuma bisa membiayai kuliahnya dan mendapat penghasilan lumayan dari internet, tetapi juga bisa membagikan ilmu dan pengalamannya.
Mungkin sudah seribuan orang yang mendengar tips dan trik dari Rahma. Selama satu tahun pada 2021, dia menjadi pembicara pada seri webinar yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Rahma pun awalnya tak menduga bisa sampai di titik itu. Dari seorang remaja putri yang hanya ingin mendapat produk gratis, malah mendapat bonus penghasilan yang memadai, plus anugerah menjadi seorang key opinion leader (KOL), individu yang mampu memberi pengaruh besar bagi para pengikutnya di media sosial.
Rahma mengajak anak-anak muda untuk berani memulai, terutama sesama perempuan. Bahkan yang punya banyak keterbatasan sekalipun. Skill ala kadarnya, peralatan berspesifikasi rendah, hingga jumlah pengikut yang masih sangat sedikit bukanlah penghambat bagi seseorang yang baru hendak merintis jalan di dunia digital.
Satu-satunya penghambat, bagi Rahma, adalah jika tak memiliki kemauan belajar. Namun bila kesungguhan untuk selalu menambah ilmu sudah terpatri di dada, Bu Dokter menilai bahwa sukses tinggal menunggu waktu dan rahmat Allah.
Pentingnya kaum muda, terkhusus perempuan, memanfaatkan teknologi digital dan ekonomi digital disebut Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, Mira Tayyiba, adalah salah satu fokus pemerintah saat ini.
Namun tantangannya ada. “Kalau mau bicara mengenai peran perempuan dalam ekonomi digital, yang pertama sebagai pelaku sektor digital itu sendiri. Ini yang masih menjadi tantangan, misalnya STEM (Sains, Technology, Engineering, Math). Tingkat ketertarikan perempuan untuk masuk STEM masih sangat terbatas,” ungkapnya saat mendampingi Menkominfo Budi Arie Setiadi menerima kunjungan peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LXII Tahun 2023 Lembaga Administrasi Negara, di Kantor Kementerian Kominfo, beberapa waktu lalu.
Mira menambahkan bahwa perempuan sebagai pengguna teknologi digital perlu meningkatkan kecakapan digital. Apalagi, Kementerian Kominfo sudah menyusun Peta Jalan Indonesia Digital. Dalam roadmap itu, salah satu upaya yang dilakukan adalah pengembangan talenta digital melalui pelatihan tingkat dasar hingga lanjutan.
“Misalnya Digital Entrepreneurship Academy (DEA), salah satu pelatihan dari program talenta digital yang memang fokus kepada perempuan dan 61 persen pesertanya perempuan,” ungkapnya.
Menkominfo Budi Arie Setiadi pun menjamin pemerintah telah dan akan terus memberikan perhatian untuk pengembangan sumber daya manusia digital lewat program dan kebijakan strategis.
Dia menambahkan, isu keterampilan digital, terutama bagi kelompok rentan juga menjadi bahasan dalam Kelompok Kerja Ekonomi Digital (Digital Economy Working Group/DEWG) G-20.
“Apalagi dengan G-20 arahnya jelas tentang upskilling digital, ini bagian dari konsen seluruh negara,” imbuhnya.
Namun, sergah Budi, di balik itu kementerian juga memikirkan perlindungan digital. Terutama untuk perempuan dan anak-anak. Di balik kecanggihan dan peluang mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari internet, perlu juga menguasai cara melindungi diri dari bahaya-bahayanya.
Intinya menurut Budi adalah bagaimana mengarahkan digitalisasi untuk membuat setiap orang menjadi lebih produktif. Ya seperti Agita dan Rahma di Sulawesi Selatan itu. Perempuan-perempuan muda yang tak lelah memperbarui skill digitalnya untuk memberi lebih banyak senyum di dalam keluarga dan masyarakat sekitar, bahkan juga yang jauh sekalipun. Toh teknologi jualah yang mendekatkan, memudahkan. (imam dzulkifli)