Perluasan kawasan konservasi disambut antusias oleh nelayan di daerah ini. Sebab mereka akhirnya paham, itu akan menjaga perkampungan nelayan dari gelombang laut serta memunculkan kembali ikan-ikan yang pernah “menghilang”.
GERIMIS baru saja turun hari itu, Kamis, 30 November 2023. Haji Lewa, pria 53 tahun, duduk bersila di dipan bambu, di kolong rumahnya di Desa Pajukukang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Istrinya meniup arang sabuk kelapa yang sudah dijalari api. Sembilan ekor ikan yang dipanggang sudah hampir matang. Empat ekor di antaranya adalah ikan belanak, mirip bandeng, namun hidupnya di perairan, tak jauh dari akar-akar mangrove.
Haji Lewa menyebut ikan belanak baru muncul lagi akhir-akhir ini, setelah beberapa tahun tak pernah didapat.
“Hidupnya memang di perairan yang agak berlumpur. Lestarinya pohon mangrove sepertinya telah mengembalikan habitan ikan wau-wau,” ucapnya. Warga di Pajukukang memang menyebut ikan belanak dengan ikan wau-wau. Ini ikan yang unik, bisa hidup di air asin maupun tawar. Secara umum bentuknya memanjang, agak langsing dan gepeng.
Mereka tak membeli ikan itu. Namun cukup mengarahkan jolloro, perahu kecil khas Bugis-Makassar mengarungi muara sungai dan pesisir laut, perjalanan 5 atau 10 menit dari rumah-rumah panggung mereka. Ikan belanak atau kepiting dan udang bakau kian menjadi andalan nelayan Pajukukang jika musim cuaca ekstrem tiba, yang tak memungkinkan mereka melaut ke perairan Selat Makassar, apalagi ke perairan Kalimantan.
Karena geografisnya, Desa Pajukukang sangat identik dengan ikan. Kata “pajukukang” itu saja yang merupakan kosakata bahasa suku Makassar, berarti perikanan. BPS mencatat 80 persen dari total 3.980 penduduk desa itu adalah nelayan. Di sana, ikan adalah kehidupan, harapan.
Warga atau nelayan di Pajukukang akhirnya memanen hasil dari perubahan perspektif mereka terhadap mangrove. Dahulu, seperti dituturkan Haji Lewa, mereka tak begitu peduli dengan lebatnya pepohonan bakau. Ralat, bukannya tidak peduli, namun mereka belum begitu paham bahwa mangrove tak hanya melindungi rumah-rumah mereka dari gelombang laut. Tetapi juga bermanfaat untuk kesejahteraan mereka; ikan, udang, dan kepiting punya tempat berkembang biak.
Hingga pemerintah dan swasta datang, membawa bibit-bibit mangrove dan mengajak nelayan untuk ikut merawat pohon-pohon itu tumbuh, demi kebaikan bersama. “Dulu kita dengan enteng menebang pohon mangrove. Soalnya mau dijadikan kayu bakar. Apalagi kalau ada hajatan seperti lebaran dan pengantin. Tetapi kini, kita bahkan ikut menanam mangrove dan menjaganya. Apalagi sudah ada gas elpiji,” ucap Haji Lewa.
Jam menunjukkan pukul 11.53. Ikan bakar telah terhidang dengan bumbu khas warga setempat; cabai, garam, dan air. Penulis diajak ikut makan. Ikan belanak ternyata begitu nikmat. Orang di Pajukukang menyebutnya “janna” atau dalam bahasa Indonesia mungkin bisa diartikan sebagai “gurih”.
Kesadaran Nelayan
Haji Lewa menyebut penanaman mangrove yang digalakkan di Maros membawa banyak manfaat. Hutan bakau semakin tebal dan semakin bisa diandalkan untuk menahan gelombang laut memasuki perkampungan. Warga juga mendapat berkah sebab beberapa jenis ikan, udang, dan kepiting senang hidup di antara akar bakau.
“Itu kepiting bakau atau kepiting dato, enaknya luar biasa, ukurannya besar-besar. Kalau dijual juga harganya tinggi karena akan dijual di restoran-restoran,” tutur Sekretaris Kelompok Nelayan Tamasalea itu.
Haji Lewa dan rekan-rekannya kini sadar betul, mangrove tak hanya berdampak ekologis, namun juga ekonomis. Makanya, warga, termasuk para nelayan, kini ikut menjaganya. Belum semua benar-benar tersadarkan namun era baru sudah dimulai. Sudah lebih banyak warga yang peduli dengan kelestarian bakau. Mangrove memang sangat dibutuhkan oleh warga dan lingkungan pesisir. Hutan bakau adalah habitat yang nyaman bagi spesies laut berkembang biak.
Penelitian juga menunjukkan bahwa hutan bakau efektif hingga 66 persen melindungi dari gelombang saat terjadi badai di lautan. Mampu menghilangkan kandungan karbondioksida di udara hingga memperbaiki kualitas air.
Akar mangrove juga dapat menahan partikel-partikel sedimen sehingga daratan meluas. Hanya saja, warga juga harus melihat itu sebagai peluang untuk menambah luasan hutan bakau, bukan sebaliknya; menambah luasan tambak yang membuat ketebalan hutan berkurang. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPRD Sulsel, Muzayyin Arif mengucapkan selamat Hari Mangrove Sedunia dari pesisir di dekat Pajukukang itu, dengan kaki yang tercelup di lumpur hutan bakau.
Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata Pemprov Sulsel, kata Muzayyin, selama tiga tahun terakhir penanaman dan perawatan mangrove di Maros. Garis pantai Maros yang membentang dari Kecamatan Marusu di selatan hingga Kecamatan Bontoa di utara dan bahkan menyeberang ke Pangkep (kabupaten tetangga), ditanami 266 ribu bibit mangrove hingga November 2023.
“Kita bahagia karena para nelayan semakin paham mangrove perlu dijaga,” tuturnya. Sudah berapa kali ada seremoni penanaman mangrove. Tetapi lebih sering lagi penanaman yang masif melibatkan masyarakat. Haji Lewa, menceritakan, setiap ada penanaman mangrove, nelayan kini sangat antusias. Mereka ikut menanam. Sebab mereka semakin menyadari perlunya tanamaan bakau bagi kehidupan mereka. Makanya, mereka juga ikut menjaganya.
Aspek Masyarakat
Penulis dan Haji Lewa serta seorang rekan baru selesai makan saat Daeng Supu, muncul dengan perahunya di sungai samping rumah. “Antekamma, Ajji, kupanaung mi?” tanya Daeng Supu. Artinya adalah “Bagaimana, Pak Haji, saya turunkan sekarang?” Haji Lewa mengangguk dan menyodorkan keranjang.
Daeng Supu, nelayan anggota kelompok Haji Lewa membawa cukup banyak ikan setelah melaut hari itu. Di antaranya ya ikan belanak itu. Dari yang sebelumnya langka dan hampir tak bisa ditemui, kini mulai hadir lagi.
Kelestarian hutan mangrove pun jadi salah fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program konservasinya. KKP juga menggandeng BUMN dan swasta. Kawasan mangrove disebut KKP sebagai salah satu kawasan ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki banyak manfaat dan nilai ekonomi yang tinggi.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menuturkan, mangrove juga dapat menjaga kawasan pesisir dari bencana alam seperti tsunami dan mencegah abrasi. “Juga sebagai habitat bagi berbagai jenis biota. Kawasan mangrove memiliki potensi nilai produksi perikanan yang tinggi sehingga dapat menyejahterakan masyarakat di kawasan pesisir,” ucap Trenggono. Ya, seperti di Pajukukang, Maros, itu. Nelayan begitu menikmati munculnya lagi ikan belanak setelah berhasil menjaga mangrove.
Kawasan hutan mangrove, Trenggono melanjutkan, juga dapat menyimpan karbon sekurang-kurangnya empat kali lebih besar dibandingkan dengan tipe hutan vegetasi lain. Makanya menjadi penyerap karbon terbesar yang memainkan peranan penting dalam siklus karbon global.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional per tahun 2021, total luas mangrove Indonesia seluas 3.364.076 hektare. Sebanyak 79% (2.661.291 ha) berada dalam kawasan hutan, 21% (702.798 ha) berada di kawasan APL atau bukan kawasan hutan. Dari total luasan mangrove Indonesia seluas 3.364.076 hektare itu, kondisi mangrove lebat seluas 3.121.239 hektare (93%), mangrove sedang seluas 188.363 hektare (5%), dan mangrove jarang seluas 54.474 hektare (2%). Fokus pemerintah dalam melakukan rehabilitasi kawasan mangrove adalah mangrove dengan kondisi tutupan yang jarang.
Trenggono juga menegaskan komitmen Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi hingga mencapai 30 persen dari total luas wilayah laut pada tahun 2045. Sebenarnya, berdasar komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, menargetkan 30% wilayah laut global perlu dilindungi pada tahun 2030. “Namun, mengingat kondisi nasional, kita memerlukan lebih banyak waktu untuk mewujudkan target tersebut, dan berencana untuk mencapainya pada tahun 2045,” ujar Trenggono.
Dia mengakui banyak tantangan untuk mencapai target tersebut. Tidak hanya dari segi sumber daya finansial dan non-finansial, tetapi juga memastikan bahwa perlindungan 30% memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Perlindungan 30% wilayah laut merupakan bagian dari 5 Strategi Ekonomi Biru yang merupakan prioritas KKP. Kawasan konservasi disebut Trenggono akan mendukung produksi ikan, penyerapan karbon, serta produksi oksigen dari laut. Strategi itu juga sangat mempertimbangkan aspek keuntungan masyarakat lokal.
Makanya, KKP menerapkan tingkat perlindungan yang kompromis, misalnya kawasan konservasi yang multiguna yang bisa menjadi tempat pencarian nafkah bagi nelayan. “Pertimbangan ekologi, sosial, ekonomi, dan tata kelola sangat penting sebelum kita mengambil keputusan untuk merencanakan, merancang, dan mengelola kawasan konservasi Indonesia untuk target saat ini dan masa depan,” tegasnya.
KKP bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk mendukung pengelolaan kolaboratif wilayah pesisir dan kawasan konservasi, yang berbasis kearifan lokal. Itu diyakini bisa menghadirkan ketahanan dari berbagai sisi. Ketahanan ekonomi masyarakat dan ketahanan iklim. Kesejahteraan dan keselamatan, menurut KKP, akhirnya akan datang jika laut bisa dijaga, lewat kolaborasi yang inklusif. Tidak sendiri-sendiri. (imam dzulkifli)