OPINI : Trump 2020, Tersandung atau Melenggang?

Armin Mustamin Toputiri

MEMASUKI awal tahun baru 2020, para anggota DPR, Kongres Amerika Serikat (United States House of Representatives), kini telah kembali menduduki kursi masing-masing di Capitol Hill, setelah sepekan sebelumnya mereka meninggalkan Washington untuk merayakan Natal dan liburan Tahun Baru di distrik, negara-negara bagian sesuai daerah pemilihan masing-masing.

Seperti diketahui, sebelum berlibur diantara mereka bersidang secara maraton. Mulai 24 September sejak Ketua DPR, Nancy Pelozy, mengumumkan permulaan prosesi penyelidikan pemakzulan Presiden Donald Trump, hingga puncaknya 19 Desember 2019.

Bacaan Lainnya

Pasca sepuluh jam berdebat dalam sidang paripurna, lewat voting terbuka, akhirnya memutuskan pemakzulan. Di antara 435 anggota Kongres, 230 sepakat pemakzulan, 197 lainnya menolak, satu abstain. Trump dinilai telah melakukan ”abuse of power”.

Berkhianat atas sumpah jabatannya terhadap keamanan nasional dan integritas pemilu. “The president must be held accountable. No one is above the law”, tegas Ketua DPR, Nancy Pelozy.

Pelanggaran itu didasarkan pada laporan agen intelejen resmi, bahwa Trump beberapa kali menelpon Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, agar menyelidiki korupsi Hunter Biden selaku komisaris perusahaan energy Burisma di Ukraina.

Trump sangat berkepentingan dengan bukti-bukti temuan itu, sebab pelakunya tak lain adalah putra , mantan Wakil Presiden Joe Biden. Rival utamanya menuju Pilpres 2020 mendatang.

Dan fatalnya, desakan Trump pada Volodymyr, dibarengi ancaman bakal menahan bantuan untuk militer Ukraina sebesar US$ 250 juta, sekitar Rp 3,5 triliun. Padahal bantuan itu telah disetujui Kongres. “Skandal Ukraina” termasuk kategori pelanggaran berat dalam konstitusi.

Sidang Senat 2020

Meski Kongres telah memutus pemakzulkan Donald Trump, tapi Presiden Amerika Serikat ke-45 itu, tidak serta merta terdepak untuk keluar dari The White House. Sistem dianut di Amerika bikameral (dua kamar), sehingga setelah sidang ”Majelis Rendah” DPR memustus pemakzulan, mesti melewati satu kamar lagi, yakni sidang ”Majelis Tinggi” di United States Senate.

Di sini nasib Trum akan ditentukan. Apakah ia tersandung, atau ia justru kembali bebas melenggang. Saat ini, Amerika Serikat memiliki 50 negara bagian. Masing-masing diwakil dua senator.

Jika di DPR mayoritas dihuni Fraksi Partai Demokrat yang mewarnai usul pemakzulan, sebaliknya di Senat dominam diisi Partai Republik. Diantara 100 senator, 53 dari Partai Republik dan 45 Partai Demokrat, serta dua independen. Mereka inilah yang bertindak sebagai jury di dalam Sidang Majelis Tinggi yang akan dipimpin Hakim Agung dari Chief Justice of the United States.

Berdasar kalkulasi sederhana, jika para senator Partai Republik konsisten, Trump — dari partai yang sama — bakal bebas melenggang dari pemakzulan. Trump, pun tahu akan hitung-hitungan itu, membuatnya sesumbar.

Lebih lagi, pemimpin mayoritas Senat dari Partai Republik, Mitch McConnell, berjanji akan melakukan persidangan singkat tanpa menghadirkan saksi agar tak terjadi ”fearing an upredictable circus” (sirkus tak terduga) yang bisa menyudutkan Trump.

Langkah Mitch McConnell, tak membuat Nancy Pelozy, tinggal diam. Selain mencari celah tambahan minimal 16 senator agar mencapai suara 2/3, sehingga usul pemakzulannya lolos, ia coba mengeluarkan kartu truf baru.

Menyandera berkas pemakzulan. Sidang Majelis Tinggi Senat, makin tak menentu. Padahal, jika sidang Senat berjalan normal, selesai tiga bulan. Tapi jika berkas terlambat diserahkan Pelozy ke Senat, jeda waktu persidangan akan melambat. Sementara jadwal Pilpres November 2020, makin dekat. Jadwal Trump dipastikan terganggu.

Menuju Pilpres 2020

Pelozy berdalih. ”Biar kami melihat situasi dulu. Berkas akan kami serahkan di saat yang tepat. Saat para senator mulai menggunakan hati nurani mereka”. Tapi langkah Pelozy, dinilai banyak pengamat, bahwa pemakzulan Trump memang partisan.

Ajang “perburuan penyihir” (witch hunt) bagi Partai Demokrat untuk mencederai Trump — seteru mereka — menuju Pilpres 2020.

Kalaupun Partai Demokrat memakzulkan Trump karena tujuan partisan, apa tak punya kalkulasi, bahwa meski Trump dimakzulkan di Kongres, sidang ”Majelis Tinggi”, Senat dikuasai Partai Republik akan membebaskan.

Apalagi sejarah Amerika mencatat, Presiden sebelumnya Andrew Johnson (1868), serta Bill Clinton (1998) — Richard Nixon (Water Gate, 1974) ia mundur sebelum putusan — meski dimakzulkan di Kongres, tak satupun tersandung di Senat.

Jika hukum besi sejarah pemakzulan Presiden Amerika Serikat sepert itu, apa sasaran hendak diraih Partai Demokrat atas pemakzulan? Bukankah Partai Republik kala memakzulkan Clinton, empat kursinya hilang di Kongres saat pemilu.

Juga poling dukungan rakyat atas pemakzulan, kian hari menurun. Sentimen pasar domestik, juga tak berpengaruh kuat. Justru penyanderaan berkas Pelozy, mencipta ketidakpastian prilaku ekonomi. Berisiko bagi kandidat Presiden Partai Demokrat.

Sebaliknya membuka ruang simpati rakyat pada Trump melenggang periode kedua.

Atau Partai Demokrat sedang bermain judi, menunggu efek domino. Pertama, bahwa Trump bukan kader murni Partai Republik, siapa tahu ada kejabaiban Senator membelot.

Kedua, coba membuka lembaran lama, bahwa Donald Trump memang bukanlah Presiden diingini rakyat di Pilpres 2016, semata karena mengungguli Hillary di sekian ”electoral college”.

Ketiga, Trump oleh rakyat Amerika dinilai Presiden terkontroversial di antara 44 pendahulunya, dari sana Partai Demokrat berharap di Pilpres nanti, simpati rakyat pada Trump semakin memudar.

Kalaupun Trump tetap saja melenggang, pastinya Partai Demokrat telah mencatatkan Donald Trump dalam tinta hitam sejarah Amerika Serikat.

Presiden ketiga (minus Nixon) dikenakan impeachment, pemakzulan di Kongres. Tapi lain soal andai Partai Demokrat mendorong pemakzulan, memang sungguh-sungguh karena didasari idialisme keinginan menghidupkan demokrasi Amerika yang dicap dua Guru Besar Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, (How Democracies Die, 2018), memang sudah sekarat. Salah satunya karena Trump.

Armin Mustamin Toputiri (Pemerhati Sosial dan Politik)

Pos terkait