Menyemai Integritas Untuk Pemilu Berkuailtas 

Ari Putra Daliman

Oleh Ari Putra Daliman (PPK Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu)

Demokrasi menjadi bagian terpenting dalam tubuh indonesia. sebagai sistem yang digunakan dalam bernegara, demokrasi dipercaya dapat mendistribusi keadilan dan berpihak terhadap kesejahteraan rakyat indonesia.

Bacaan Lainnya

Demokrasi juga diterjemahkan pada beberapa bagian yang salah satunya adalah demokrasi prosedural. Rangkaian kata Langsung, Umum, bebas, Rahasia, Jujur dan adil menjadi alas nilai dalam perjalanan demokrasi prosedural yang dikenal dengan pemilu.

Pemilu merupakan mekanisme pergantian kekuasaan, salah satu pilar utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat sekaligus merupakan prosedur demokratis untuk memilih pemimpin.

Pemilihan Umum yang digelar lima tahun sekali dianggap sebagai bagian dari sirkulasi keseimbangan kekuasaan yang dilaksanakan di Indonesia.

Di masa lalu, pemilu pernah mengalami krisis kepercayaan. hal itu dipicu ketika para panitia pemilu diduga terkooptasi dengan kekuasaan dianggap banyak melakukan manipulasi terhadap proses pemilu.

Kondisi inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran Bawaslu yang saat itu disebut Panitia Pengawas Pelaksana (Panwaslak) pemilu.

Krisis kepercayaan pelaksanaan pemilu kemudian berlanjut hingga Pemilu 1977 terdapat kecurangan dan pelanggaran yang dianggap lebih masif.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengeritisi pelaksanaan pemilu karena dianggap rentan kecurangan meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas pemilu pada 1982 dengan memperbaiki UU yang digunakan saat itu.

Pasca tumbangnya rezim orde baru, Indonesia terus membenahi sistem demokrasi yang diterapkan. juga pembenahan yang dilakukan dalam tubuh penyelenggara pemilu diantaranya didirikannya Komisi Pemilihan Umum.

KPU pertama (1999-2001), dibentuk melalui keppres no 16 tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007), dibentuk dengan keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM.

Perubahan dalam tubuh KPU dilakukan secara signifikan diantaranya tidak dilibatkannya Partai Politik untuk terlibat mengintervensi kinerja KPU, hal ini dilalukan untuk meraup kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu diantaranya KPU itu sendiri.

Tahun 2024, Indonesian akan menghadapi Pemilu. Ini membutuhkan persiapan hampir semua elemen yang ada di Indonesia. Bawaslu dan KPU harus mengembangkan  kepercayaan yang telah dibangun selama ini dimulai dari integritas.

Pelaksanaan teknis tidak cukup untuk menyemai integritas yang ada pada Bawaslu. Takaran integritas bagi penyelenggara termaktub dalam kode etik penyelenggara. Catatan Kofi A. Annan dalam karyanya yang berjudul “Deepening Democracy: A Strategy for Improving the Integrity of Election Worldwide” mendefinisikan integritas sebagai kepatuhan yang kukuh pada nilai moral dan etika.

Senada dengan Adrian Gostick dan Dana Telford dalam “The Advantage of Integrity”, menuliskan bahwa integritas merupakan ketaatan yang kuat pada sebuah kode, khususnya nilai moral atau nilai artistik tertentu.

Kita harus belajar pada masalalu bahwa lahirnya distrust (Ketidak Percayaan) itu didasar atas rusaknya integritas politik yang diterapkan oleh politisi yang tidak bertanggung jawab. Lahirnya lembaga pengawasan, juga menjadi bukti bahwa negara ini terus berbenah dalam memyempurnakan integritas kepemiluan terutama bagi seluruh elemen yang terlibat dalam pemilu, utamanya penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu.

Jika ditarik dalam konteks pemilu, maka Integritas dalam pemilu merupakan satu sistem nilai yang terikat pada moral dan etik demi tercapainya hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Artinya pemilu tidak hanya sekedar menjalankan aturan (Rule of law) tetapi juga menjalankan etika dan moral (Rule of ethics).

Apabila pemilu tidak dilaksanakan dengan basis integritas, maka berpotensi melahirkan penyelenggara pemilu yang tidak bertanggungjawab yang berimplikasi pada minimnya partisipasi politik dan hilangnya kepercayaan publik pada proses demokrasi.

Integritas semestinya tidak hanya dimiliki oleh penyelenggara, melainkan harus dimiliki seluruh rakyat yang telah memiliki hak pilih dan dipilih. Tugas Bawaslu tidak hanya secara teknis melakukan pengawasan pemilu. Tetapi bawaslu secara moril mesti mengajak masyarakat meningkatkan kualitas pemilu melalui integritas.

Dengan menyemai integritas, patologi pemilu seperti politik uang bisa diminimalisir dengan melakukan beberapa hal. Pertama, membangun kesadaran pentingnya demokrasi politik bagi masyarakat agar terlibat dalam seluruh rangkaian Pemilu yang telah disiapkan oleh penyelenggara pemilu.

Kedua, memasifkan pengawasan partisipatif, Konsep dasar pengawasan partisipatif ini merupakan pengawasan yang berbasis pada keterlibatan rakyat dalam mengawal maupun mengawasi jalannya tahapan pemilu berdasarkan pada kesadaran tentang pentingnya kualitas demokrasi yang baik.

Keterlibatan rakyat dalam pengawasan dimulai dari kelompok intelektual dan cendekiawan demi menguatkan narasi yang akan dikonsumsi masyarakat.

Ketiga, menguatkan pendidikan dan literasi politik kepada masyarakat utamanya kelompok muda yang terlibat aktif dalam arus informasi dan sosial media.

Hal ini dianggap efektif dengan jumlah kuantitas pemilih pemula dan kelompok anak muda yang mulai melek politik. Kelompok yang disebutkan inilah yang turut menjadi pilar pencerahan kepada masyarakat secara menyeluruh. Sebab integritas bukanlah nilai yang disemai secara reaksioner melainkan nilai yang harus ditanamkan sejak dini.

Pada kesimpulannya integritas tidak hanya milik dari penyelenggara pemilu melainkan harus by masyarakat yang sebagai penunjang kualitas demokrasi yang baik, atas dasar itulah saya sebagai pemuda yang memiliki inisiatif untuk meningkatkan kualitas pemilu memberanikan diri turut terlibat sebagai penyelenggara pemilu. (*)





Pos terkait