KUTIM – Produksi padi di Kabupaten Kutai Timur mengalami penurunan. Kondisi ini menjadi kekhawatiran berbagai pihak, salah satunya anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim) Faizal Rachman.
Dia menyarankan stakeholder terkait melakukan kajian penyebab menurunnya produksi padi. Sebab, dia khawatir, produksi padi menurun lantaran petani ogah menanam sawahnya.
Untuk itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mendorong agar perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan segera dibahas. Dia juga menjelaskan ada dua faktor penyebab penurunan produksi padi ini, pertama gagal panen karena suatu alasan dan petani ogah menanam padi karena suatu alasan.
“Penurunan produksi padi ini ada dua faktor, petani menanam, tapi karena cuaca tidak bagus atau diserang hama akhirnya gagal panen. Kemudian memang petani tidak menanam padi,” jelas Faizal Rachman.
Seringkali gagal panen, menurut Faizal dapat mempengaruhi para petani. Sebab, mereka telah mengeluarkan modal tak sedikit, namun panen yang ditunggu tak sesuai yang diharapkan.
Hal ini juga dapat menimbulkan kerugian bagi Kutai Timur. Pasalnya, ada potensi sawah para petani akan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Yang kita khawatirkan itu, karena petani jenuh selalu gagal panen, ujung-ujungnya pada musim tanam berikutnya dia tidak tanam. Nah kalau sudah muncul tidak tanam itu, kita khawatir lahan pangannya beralih fungsi menjadi sawit,” jelasnya.
Untuk membuktikan dugaannya itu, Faizal Rachman meminta stakeholder terkait untuk melakukan kajian alasan produksi padi Kutim menurun. Menurutnya, wajar bila petani jenuh, sebab mereka telah keluar modal, namun selalu gagal panen.
“Makanya ini perlu dikaji, penurunan ini apakah gara-gara cuaca jelek, sehingga produksi menurun atau mereka kapok tanam padi karena produksi menurun. Karena sekali gagal panen, petani rugi jutaan,” ujarnya.
“Petani sudah keluar biaya untuk traktor lahan, biaya tanam, biaya penyemaian bibit, kalau di Kaubun aja, hand traktor itu sudah satu jutaan biayanya satu hektare. Hitung-hitung modal petani Rp 5 juta per satu hektare,” lanjutnya.
Pada saat seperti ini kata Faizal, godaan untuk dialihfungsikan sawah ke perkebunan kelapa sawit sulit untuk ditolak. Sebab, bila dibandingkan dengan sawah padi, perkebunan kelapa sawit lebih menjanjikan secara ekonomi.
“Potensi gagalnya kecil. Kalau mereka tergiur semua, maka mereka tidak mau lagi tanam padi. Ditambah, sudah banyak pabrik sawit, jadi tidak sulit menjual hasil sawit mereka. Secara Ekonomi oke, tapi secara menjaga lahan pangan berkelanjutan itu yang jadi masalah,” ujarnya.
“Makanya saya dorong terus bagaimana supaya kita bisa keluarkan Perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan. Ini saya dorong terus supaya segera untuk dibahas hal itu,” pungkasnya. (adv)